Antara Kesetaraan dalam Islam dan Cita-cita Kartini

Dhora Darojatin, M.Kes
(Wakil Ketua DPRD Kab. Majalengka Fraksi PKS/ Ketua
BPKK DPD PKS Kab. Majalengka)

Oleh Hj. Dhora Darojatin, M.Kes. - Laki-laki dan perempuan, apakah sama ? Tentu tidak. Ada banyak hal yang membuat laki-laki dan perempuan tidak sama. Dari penampakan fisik sudah sangat berbeda. Dengan jenis kelamin yang berbeda maka ada beberapa organ tubuh yang tidak sama. Begitupun ada hormone yang khas antara keduanya. Dengan hormone yang khas ini akan membedakan pula. Secara psikis pun sangat berbeda.

Jika diulas detail, maka antara dua makhluk Allah ini sangat berbeda. Tentu bukan tanpa maksud mengapa berbeda. Memang berbeda, karena antara keduanya memiliki tugas dan kewajiban yang saling  mendukung. Allah menciptakan sesuai dengan fitrahnya masing-masing.

Lalu, bagaimana dengan emansipasi. Menurut KBBI, emansipasi berarti persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. RA Kartini, dinobatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai tokoh emansipasi wanita. Seorang perempuan ningrat Jawa yang mendobrak tradisi yang melarang anak perempuan untuk bersekolah.

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan.  Bukan  sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena  kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita. Agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya. Kewajiban yang diserahkan  alam sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”. (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan nyonya).

Masya Allah, dizaman itu Kartini berpikiran sangat cerdas. Dimasa akses pengetahuan tentang Islam masih sangat terbatas (jauh dibanding masa sekarang), tetapi Kartini memiliki pandangan yang sesuai dengan Islam. Kartini bercita-cita, perempuan mendapat pendidikan. Dengan berpendidikan maka perempuan memiliki ilmu dan wawasan yang luas. Dengan pengetahuan yang luas maka ia akan trampil sebagai seorang ibu yang akan mendidik anak-anaknya yang akan menjadi penerus generasi. Menurut Kartini, menjadi ibu adalah tugas dari alam, dalam Islam disebut sebagai fitrah. Yang hebatnya lagi, bagi Kartini, ibu adalah pendidik yang pertama. Al ummu madrasatul uula, sebuah hadis menyebutnya demikian.

Tidak ada niat dari sang pejuang bahwa cita-citanya ini untuk membuat perempuan sebagai pesaing laki-laki. Bukan berebut atau bertukar peran. Tetapi memperoleh pendidikan adalah hal yang seharusnya dimiliki juga oleh kaum perempuan.

Belajar dari Ibu Kartini, menjadi perempuan yang cerdas, kritis, dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Cerdas, di zaman penjajahan, masih muda, tidak mengenyam pendidikan yang tinggi, namun mampu berpikir jauh dan luas. Paham, bahwa perempuan memiliki posisi dan peran yang sangat strategis juga utama sebagai pendidik generasi. Karenanya ia sangat peduli bagaimana agar para perempuan mendapat pendidikan yang baik yang tak kalah dari mitranya, laki-laki. Masya Allah..

Putri ningrat yang kritis. Dari buku Tragedi Kartini, sebuah Pertarungan Ideologi karya Asma Karimah, diceritakan tentang Kartini remaja ngambek tak mau lagi belajar mengaji. Ketika itu dia bertanya kepada gurunya tentang arti dari surat al-Fatihah. Jawaban sang guru ngaji mengecewakan Kartini. Ibu guru mengaji memarahinya dan menyuruh Kartini keluar ruangan. Setelah itu Kartini tak lagi mengaji.

“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa! Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula  sebenarnya agamaku Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya! Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam Bahasa apapun. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa  Arab. Di sini orang diajar membaca al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan orang gilakh, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibacanya. Sama saja halnya seperti engkau mengajar aku membaca buku Bahasa Inggris, akuharus hafal kata demu kata, tetapi tidak satu patah katapun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang salehpun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella ?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1890)

Hingga ia beberapa waktu kemudian disebuah pengajian trah, Kartini mendengar ceramah dari Kyai Soleh Darat, yang menerangkan tentang surat pertama dalam al-Quran. Saat itulah, seolah mendapatkan yang ia cari. Bergegas ia menemui sang kyai untuk bertanya lebih banyak tentang isi al-Quran. Lalu, dengan senang hati sang kyai berjanji akan menerjemahkan seluruh isi Quran.

“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti arti dan makna surat pertama, dan induk al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku…”, Kartini mencurahkan isi hatinya kepada sang kyai.

Saat pernikahannya, Kyai Darat menghadiahkan terjemahan al-Quran. Namun baru sampai di surat Ibrahim atau juz ketigabelas. Belum kelar diterjemahkan, qadarullah, sang kyai wafat. Betapa sedih hati Kartini karena tak tuntas mengetahui isi kitab Allah ini. Jika terjemahan itu sampai ke surat an-Nuur atau al-Ahzab tentang hijab, bisa jadi ia akan mengenakan hijab. Karena Kartini, membaca dari isi tulisannya menggambarkan bahwa ia sosok yang taat dan sangat ideologis. Allahu a’lam.

Kita yang hidup diera yang sangat mudah mendapatkan terjemahan al-Quran, terbuka mengaji dan mengkaji Islam, seharusnya lebih semangat dibanding Kartini. Lalu berupaya memahami isinya dan menerapkannya dalam kehidupan. Menerapkan Islam dengan keseluruhan tanpa memilih-milih mana yang disuka.

Sosok yang pembelajar. Ya, Kartini senang membaca, berdiskusi dengan teman-temannya yang kebanyakan adalah pembesar Belanda. Ia tidak mempunyai kawan diskusi yang sepadan di bangsanya, tak boleh sembarang bergaul dan karena perempuan saat itu dibatasi oleh tradisi yang menempatkannya sekedar urusan domestic (dapur, sumur, kasur).  Walaupun terkadang kawan Belandanya mewarnai pola berpikirnya, tetapi kecintaannya kepada Islam masih kuat melandasi pemikirannya.

Door Duirternis tot Licht, buku kumpulan surat-surat Kartini, yang diterjemahkan oleh Armyn Pane Habis Gelap Terbitlah Terang. Profesor Haryati Soebadio, mantan mensos RI yang juga cucu tiri Kartini mengartikannya Dari Gelap Menuju Cahaya, yang diambil dari surat al-Baqarah : 257, minazh zhulumati ilan nuur.

Pada masa yang literasi dan globalisasi yang sangat minim, Kartini selalu up-date dalam pengetahuan. Dimasa sekarang yang segalanya sangat mudah dan terbuka, seharusnya kita lebih bersemangat untuk belajar dan meningkatkan kapasitas diri. Tak harus dibangku pendidikan formal, apalagi sebagai ibu dan istri yang disibukkan diruang keluarga, tetapi akses menambah wawasan sangat terbuka. Tinggal mau atau tidak. Ya, jangan kalah dengan semangat Ibu kita Kartini.

Dalam Islam tidak mengenal istilah persamaan hak. Lebih dari empat belas abad silam, Islam datang untuk menguatkan kedudukan perempuan. Bahkan memuliakannya ditengah bangsa-bangsa saat itu merendahkan kaum perempuan.

“Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan  kamu dari laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara  kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui Maha Teliti,” [QS al-Hujurat/49 : 13].

Sangat jelas firman Allah di atas. Bahwa Islam menyamakan antara laki-laki dan perempuan. Tidak berat sebelah. Tak ada yang paling istimewa selain siapa saja diantara makhluknya yang paling bertakwa.

“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar,” [QS al-Ahzab/33 : 35].

Siapa yang berani menyatakan bahwa Islam meminggirkan perempuan. Dalam dua ayat ini menjadi dasar dan informasi bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam beribadah. Silakan berlomba dalam ketaatan. Berkompetisi dalam amal saleh. Pahala yang sama dan ampunan yang sama pula.

Jika ada perbedaan terkait hukum, maka itu dikarenakan fitrah masing-masing keduanya. Justru tidak adil jika disamaratakan. Sebagai permisalan, ketika haid atau nifas, maka perempuan dilarang untuk salat atau berpuasa. Karena jika dilakukan maka justru membahayakan kesehatan.

Allah yang menciptakan makhluknya. Jadi tahu apa yang baik atau yang berdampak buruk untuk manusia. Cita-cita Kartini, harus dimaknai dan dipahami dengan benar. Dan bukan menjadi alasan untuk seorang perempuan bebas merdeka atas nama emansipasi. Bersemangat membekali diri dengan pengetahuan dan wawasan yang luas namun tetap pada fitrah yang Allah berikan. Bersama laki-laki, mengabdi kepada Sang Kholik sesuai tugas yang sudah Allah tetapkan.

Allahu a’lam


0 Response to "Antara Kesetaraan dalam Islam dan Cita-cita Kartini"

Posting Komentar