Ust. Fauzhi adhim bersama para guru SDIT Insan Kamil Majalengka saat menjadi pembicara Parenting di Hotel Putrajaya Sabtu (6/4) Sekaligus bedah buknya yang berjudul "Saat berharga bersama anak kita". |
Hari stress nasional itu telah tiba. Beribu-ribu anak,
orangtua dan bahkan guru mengalami stress hanya karena gemetar menghadapi ujian
nasional (UN). Inilah berita sedih tentang pendidikan di sebuah negeri bernama
Indonesia. Berbulan-bulan perhatian guru tersita untuk persiapan menghadapi
ujian. Ini seharusnya tak perlu terjadi. Terlalu naïf jika seluruh tenaga
dikerahkan hanya untuk memastikan siswa siap menghadapi UN dengan baik.
Alangkah sia-sia belajar 3 atau 6 tahun (SD) jika hanya untuk meraih nilai
(skor) yang memuaskan. Jika hanya untuk memperoleh skor yang tinggi, lalu untuk
apa harus berpayah-payah sekolah? Mengapa tidak kursus saja?
Sekolah seharusnya memusatkan pada pembentukan
karakter yang kuat. Setelah itu, kompetensi yang unggul. Karakter tak dapat
dibangun dengan memberikan pengetahuan tentang karakter. Character isnot
imparted. It’s inspired. Berbusa-busakita bicara tentang karakter, jika sekolah
tak punya budaya karakter yang kuat,maka karakter hanya di atas kertas. Sangat
berbeda pembelajaran tentang karakter dengan pendidikan karakter. Lawan dari
budaya karakter adalah budaya prestasi.
Jika budaya karakter benar-benar kuat, prestasi akan
cenderung mengikuti. Ia merupakan konsekuensi yang sangat wajar dan sudah
seharusnya terjadi, sehingga menghadapi ujian nasional tak perlu menangis. Jika
sekolah benar-benar membangun kompetensi (bukan sekedar ability/kemampuan),maka
UN bukanlah berita mengerikan buat siswa. Justru sebaliknya, siswa sangat
bersemangat dan penuh gairah. UN menjadi berita gembira karena mereka dapat
menakar kemampuan dengan baik.
Tetapi jika sekolah lupa membangun kompetensi, dan
tidak melakukan assessment secara berkala terhadap kompetensi siswa, maka
sangat wajar jika UN menjadi berita besar yang bikin gemetar. Berita tentang
stress massal menjelang UN yang marak terjadi dimana-manamenandakan ada
kesalahan mendasar.
Tanpa kompetensi yang memadai, maka sekolah hanya akan
bersibuk meningkatkan ability(kemampuan) siswa untuk menghadapi ujian. Sekolah
sibuk memberikan latihan mengerjakan soal secara terus-menerus setiap hari
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Bahkan bukan tidak mungkin ada
sekolah yang sibuk memberi sarapan soal dan latihan intensif sejak anak awal
kelas 6, 9 dan 12.
Teringat buku karya Marzano berjudul The Art &
Science of Teaching. Ulangan intensif sebagai bentuk latihan mengerjakan
soal, dapat bermanfaat meningkatkan ability siswa dalam menjawab soal jika
frekuensi sangat tinggi. Ulangan 30 kali dalam 15 pekan memberi dampak, tetapi
tidak signifikan. Ini hanya meningkatkan ability. Bukan kompetensi. Maka jika
sekolah tidak ingin terjebak dalam penderitaan tahunan, sudah saatnya menata
ulang arah pendidikan dan pembelajaran dengan benar-benar membangun dasar-dasar
belajar (the basic of knowing) yang kuat, pengetahuan dasar yang memadai
disertai penguasaan konsep (catat: konsep!!!) yang matang, serta budaya
belajar (learning culture) yang sangat kuat.
Penguasaan konsep jauh lebih penting daripada
keterampilan mengerjakan soal. Ini yang harus benar-benar diperhatikan guru.
Sama sekali tidak hebat! Sungguh, tidak hebat sama sekali anak kelas 1 SD
terampil berhitung, tapi tidak memahami konsep dasar.
Secara terencana dan terukur, kepala sekolah
berkewajiban merancang proses pembentukan budaya belajar bersama para guru.
Kelas bawah (1-3 SD) merupakan masa paling stategis membangun budaya belajar.
Jika dasarnya sangat kuat, mudah bagi anak mengejar ketertinggalan dalam hal
penguasaan materi yang dipersyaratkan oleh kurikulum nasional. Ibarat bangunan,
jika fondasi sangat kuat dan mengakar, setinggi apa pun yang mau kita bangun,
tak masalah. Kelas atas (4-6 SD) merupakan masa perawatan dan penguatan budaya
belajar. Pada masa ini, keterampilan belajar dapat diberikan. Kelas 5 SD,
saatnya kita membangun orientasi hidup yang lebih kuat, menata tujuan hidup
yang lebih jelas serta orientasi belajar.
Jika kita dapat mewujudkan hal ini di sekolah, maka
sepatutnya siswa tidak perlu mengalami stress mencekam hadapi ujian nasional.
Seharusnya,sekolah memang tidak menjadikan sukses UN sebagai tujuan. Tetap
ijika sekolah benar-benar menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi
akademik sangat tinggi, maka sukses UN merupakan konsekuensi yang wajar
terjadi. Sekolah memang harus membentuk karakter siswa. Tetapi apakah siswa
yang beriman dan berakhlak mulia tak boleh cerdas berprestasi?
Saya teringat ketika dulu masih menjadi relawan
pendidikan. Sering saya sampaikan bahwa menyontek bukanlah sekedar pelanggaran,
lebih dari itu ia adalah kejahatan. Bermula dari dusta terencana, keburukan
lebih besar dapat menyertai. Nah, jika siswa merasa jijik untuk menyontek, maka
apakah yang akan ia kerjakan untuk menghadapi ujian selain menjadikan dirinya
unggul?
Jika sekolah berhasil menanamkan keimanan dan
keyakinan yang sangat kuat terhadap dien, sudah seharusnya anak-anak
bersemangat. Mereka bersungguh-sungguh terhadap hal-hal yang bermanfaat
baginya, meminta tolong hanya kepada Allah Ta'ala dan tidak merasa lemah.
Artinya, jika anak-anak itu telah memperoleh pembelajaran tentang agama, tetapi
mereka masih belum memiliki semangat yang menyala, ini menandakan ada hal yang
serius terlalaikan dalam soal menanamkan keyakinan yang kuat dan aqidah yang
lurus. Ini pertanda bahwa yang berlangsung di sekolah barulah pelajaran tentang
agama Islam. Bukan pendidikan beragama yang berpijak pada penanaman keyakinan.
Salah satu kesalahan berpikir yang sangat mengerikan
buat saya adalah, mempertentangkan karakter dengan prestasi; seakan karakter
yang kuat itu bertentangan dengan prestasi yang cemerlang. Bermula dari
kesalahan pikir yang sangat berbahaya ini, sekolah Islam seakan telah melakukan
langkah terbaik dengan mengutamakan karakter "sehingga" prestasi
akademik kedodoran. Padahal yang terjadi, keduanya rusak parah. Karakter tak
terbentuk dengan kuat, sementara hanya untuk menghadapi UN yang seharusnya
mereka sambut dengan gembira, justru dipenuhi hal-hal yang tak patut. Bahkan
ada sejumlah sekolah maupun orang tua yang terjatuh pada kesyirikan serius.
Maka,wahai para guru, mari sejenak kita ingat kembali
bahwa mendidik bukanlah sekedar menyampaikan pelajaran. Ia adalah dakwah. Wahai
Para Guru, ketika hari ini engkau berdiri di depan kelas, ingatlah ada dakwah
di sana. | Jangan Remehkan Dakwah Kepada Anak: http://www.facebook.com/notes/mohammad-fauzil-adhim/jangan-remehkan-dakwah-kepada-anak/436312186417915
Pertanyaannya, bagaimana sekolah mengantarkan
anak-anak untuk meraih prestasi tanpa menciderai kehormatan, keyakinan,
keimanan, integritas dan kejujuran? Saya memohon petunjuk dan kekuatan dari
Allah Ta'ala semoga mampu menghadirkan di catatan facebook ini dengan segera.
InsyaAllah.
0 Response to "Sukses UN Tanpa Stress"
Posting Komentar