Pagi ini, di salah satu Forum Diskusi
yang saya ikuti, saya mendapatkan posting dengan judul “Jebakan
Megalomania” yang ditulis oleh Anis Matta, salah satu sastrawan besar
Indonesia abad ini. Tulisan ini ada dalam buku Serial Kepahlawanan,
Mencari Pahlawan Indonesia. Saya baca dengan seksama lalu saya relasikan
dengan sebuah keadaan yang saat ini sedang terjadi, maka saya
berkesimpulan untuk membagikan tulisan tersebut.
Salah satu kelebihan yang Anis Matta
miliki adalah, tulisannya sering bisa dijadikan rujukan atas sebuah
permasalahan dan bagaimana menyikapinya.
Meskipun tulisan itu telah dibukukan 13 tahun yang lalu, namun saya
‘membaca’ bahwa dalam tulisan itu Anis Matta seolah sedang berbicara
dengan seorang sahabatnya saat ini. Ya…sahabatnya yang sedang diberikan
ujian oleh Allah….
Selamat menikmati….JEBAKAN MEGALOMANIA
Oleh: Anis Matta
Terlalu tipis memang. Tapi bukan tidak
mungkin untuk ditemukan selama kita jujur: nilakah amarah dan ambisi
ini, atau embun. Hanya, ini juga bisa jadi awal dari riwayat megalomania
yang panjang.
Suatu saat ketika kamu merebut
kemenangan demi kemenangan, kekuasaan yang semakin bertumpuk. Musuh
sudah kau taklukkan semua. Tak ada lagi yang berani melawan. Semua orang
mulai tunduk padamu. Di sekelilingmu hanya ada para pemuja.
Musuhmu menyelinap ke dalam bentengmu. Ke dalam dirimu sendiri. Halus.
Sampai kau bahkan tak mengenalnya. Kamu mulai merasa besar.
Itulah awalnya. Kamu mulai merasa besar.
Kamu sebenarnya layak merasa begitu. Sebab
kemenangan-kemenanganmu. Pengakuan musuh-musuhmu.
Kekaguman sahabat-sahabatmu. Kekuasaanmu yang terbentang luas. Kamu
memang hebat. Dan besar. Itu fakta. Tapi itulah jebakannya. Merasa besar
itu.
Seperti itulah pada mulanya. Fir’aun merasa besar. Lalu merasa mirip-mirip Tuhan. Kemudian merasa layak jadi Tuhan. Maka, ia pun berseru, lantang, di tengah gelombang massa rakyatnya yang patuh-patuh itu, “Akulah Tuhan kalian.”
Luar biasa rumitnya. Kamu hebat. Tapi
tidak boleh merasa hebat. Kamu besar. Tapi tidak boleh merasa besar.
Kamu berkuasa. Tapi tidak boleh merasa berkuasa. Fakta dan perasaan
tentang fakta yang harus dipisah. Kekuasaan dan perasaan tentang
kekuasaan yang harus dijauhkan. Itu menyakitkan. Orang-orang tidak menyukai situasi itu.
Ini perjuangan yang berat. Temanya
adalah belajar memahami asal usul kita sebagai manusia. Kamudiciptakan.
Kamu tidak menciptakan. Kamu hadir ke dunia tanpa apa-apa. Terlalu
banyak orang berjasa atas dirimu. Terlalu banyak yang tidak kamu tahu.
Terlalu banyak yang tidak kamu kendalikan. Kamu bisa kendalikan angin?
Laut? Gunung?
Kamu sebenarnya tidak hebat benar. Tidak
berkuasa benar. Jadi kamu tidak punya alasan untuk merasa hebat atau
berkuasa. Apalagi merasa mirip Tuhan. Apalagi merasa layak jadi Tuhan.
Lihat saja Fir’aun. Mati ditelan laut. Lihat saja Soekarno. Jatuh juga
dari kekuasaannya. Lihat juga Soeharto. Lengser juga akhirnya.
Khalid bin Walid mungkin tersanjung.
Bait-bait sanjungan dan kekaguman sang penyair membuatnya berbunga. Dia
memang hebat. Sebagai panglima perang atau Gubernur Qinnasrin. Dan dia
merasa hebat.
Perasaan itulah yang membuatnya bermurah hati. la menghadiahi sepuluh ribu dirham untuk sang penyair.
Tapi itulah sebabnya. Atau salah satu
sebabnya. Lelaki yang hebat. Sangat berkuasa. Ditakuti musuh. Dikagumi
sahabat. Tapi dia melanggar tabu. Dia merasa hebat, tersanjung, lalu
terjebak. Sepuluh ribu dirham itu memang dari koceknya sendiri. Tapi itu
terlalu boros untuk menghargai sebuah sanjungan. Maka, Umar
pun memecatnya.
Sumber : http://www.wahidirsyadi.com/
0 Response to "Jebakan MEGALOMANIA By Anis Matta"
Posting Komentar