BIMA dan UJIAN KEJAMA’AHAN KITA


Izinkan saya menyebut seorang perempuan: Niken Lara Yuwati.

Barangkali tidak banyak yang mengenal nama di atas. Tapi sosok wanita agung ini ada di balik dua perang besar; yang satu nyaris membangkrutkan VOC pada 1746-1755; yang satu lagi nyaris membangkrutkan pemerintahan jajahan Hindia-Belanda pada 1825-1830.

Niken Lara Yuwati, cucu Sultan Bima, Abdul Kahir I itu, lebih masyhur dikenal sebagai Ratu Ageng Tegalreja, permaisuri Sultan Hamengkubuwana I (1755-1792).

Beliau terampil berkuda, ahli menggunakan patrem (keris kecil), jitu dalam memanah, dan tahan mengarungi perjalanan panjang. Pada Perang Giyanti, dia mendampingi gerilya suaminya menempuh medan yang amat berat di bentangan Jawa Tengah hingga Jawa Timur.

Dalam masa prihatin itu, di tengah hutan lereng Gunung Sindoro beliau melahirkan sang putra yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana II. Beliau pula memimpin bregada prajurit putri, satu-satunya kesatuan yang peragaan perangnya membuat Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels sangat terkesan dalam kunjungannya ke Yogyakarta semasa pemerintahan putranya.

Setelah merasa jalan perjuangan putranya tak segaris dengan almarhum suami tercinta, wanita baja ini memilih mengundurkan diri ke Tegalreja, membuka persawahan makmur dan menampung para ‘ulama serta santri. Diasuh pula olehnya sang buyut yang lahir pada 1785, Bendara Raden Mas Musthahar yang kelak dikenal sebagai Dipanegara. Di bawah bimbingan nenek yang shalihah ini, Dipanegara tumbuh sebagai pangeran santri yang kelak mengobarkan jihad akbar untuk tegaknya agama di Jawa.

Yogyakarta, juga negeri ini, berhutang besar pada seorang srikandi dari Kesultanan Bima, di pulau Sumbawa. Sejarah berulang, dan gerakan mahasiswa serta dakwah di Era Reformasi juga berhutang besar pada ksatria dari Bima yang punya sifat begitu mirip dengan tokoh Bima dalam pewayangan; Abangnda Fahri Hamzah. Kukuh, keras, bicaranya “ngoko”, tanpa basa-basi dan seceplosnya.

Saya hanyalah seorang pelajar SMP yang lugu ketika dengan sangat heroik Bang FH dan Ayahanda Dr. M. Amien Rais berboncengan bertaruh nyawa dalam hari-hari genting reformasi. Dan kisah-kisah di hari itu begitu mengilhami jalan hidup kami para muda, hingga sayapun berada di barisan dakwah di mana Bang FH berada. Bedanya tentu, beliau di penjuru depan sementara saya ada di shaff amat belakang.

Hidup berjama’ah dalam dakwah adalah pilihan untuk mengoptimalkan ‘amal; sebagaimana Ayah saya yang Guru Muhammadiyyah dan Ibu saya yang lekat dengan tradisi keagamaan Nahdlatul ‘Ulama. Dan saya, dengan tetap bernafas dalam atmosfir harum yang dihembuskan oleh Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari maupun KH Ahmad Dahlan, mendetakkan pula jantung ini dalam balada Syaikhut Tarbiyah KH Rahmat Abdullah.
Sepanjang perjalanan dalam perhimpunan dakwah ini, Bang FH adalah model bagi kepanglimaan yang gagah, yang bernyali, yang tak gentar resiko, yang tak takut celaan dari orang-orang yang mencela.

Tapi setiap pahlawan punya kisahnya sendiri. Hari-hari ini, Bang FH kebanggaan serta kecintaan kami para muda di barisan ini; sekaligus juga Allah jadikan ujian bagi kejama’ahan kami.

Tapi bukankah seseorang dan suatu kaum memang diuji Allah dengan hal yang amat dijunjung tinggi? Ibrahim, lelaki yang penuh cinta. Maka seluruh hidupnya adalah ujian cinta. Dan dia lulus sebagai ‘Kekasih Ar Rahman’. Maryam, sang perawan suci pengkhidmah Bait Suci, juga diuji dengan soal yang paling mengguncang kehormatan diri. Dan Muhammad ﷺ, lelaki yang menjunjung kejujuran dan kepercayaan, setelah 40 tahun hidup sebagai Al Amin, tiba-tiba wahyu turun lalu dia didustakan.
Tak ada manusia yang sempurna.

Saya melihat kasih nan lembut itu di wajah dzurriyah Rasulillah ﷺ yang mulia, Al Habib Dr. Salim Segaf Al Jufri, MA. Jikapun Bang FH yang akibat ketidaktaatannya pada AD/ART dan keputusan dewan pimpinan sebagaimana termaktub dalam fakta kronologisnya harus berhenti, maka beliau sangat berharap kepada masyarakat dapat dikatakan seperti ucapan ‘Umar tentang pemecatan Khalid sebagai Panglima Utama, “Bukan kemampuan Abu Sulaiman yang aku ragukan, tapi aku mengkhawatirkan hati manusia yang terlalu memujanya.” Agar semua ‘aib terjaga. Agar tak perlu ada luka.

Tapi ada yang berbisik, seakan-akan Ketua Majelis Syura bertindak secara pribadi, memaksa mundur karena kepentingan pribadi. Saya dan hati Bang FH sama-sama tahu, bahwa ini bisikan yang tak dapat dibenarkan.

Saya melihat cinta nan adil itu di wajah Ketua Majelis Tahkim, Dr. Hidayat Nur Wahid. Beliau bersama segenap jajaran lain telah memberi berulangkali kesempatan, pembahasan, dan penghadiran saksi secara tertutup, agar kepada ummat dapat dikatakan seperti ucapan ‘Umar tentang pemecatan Sa’d ibn Abi Waqqash sebagai Gubernur Kufah, “Demi Allah ini bukanlah karena dosa yang dilakukannya, bukan pula karena ada sifat khianat pada dirinya.” Agar tak perlu ada kegaduhan yang melemahkan.

Tapi ada yang berbisik, seakan-akan lembaga ini melawan hukum dan berbuat aniaya, tak berwenang dan hanya akal-akalan seseorang saja. Saya dan hati Bang FH sama-sama tahu, bahwa ini bisikan yang menyesatkan.

Saya melihat hikmah nan sejuk itu ada di wajah Kang Sohibul Iman, Ph.D. Beliau bersama segenap unsur yang dilibatkan telah banyak menyabarkan diri, memberi permakluman, dan ‘udzur meski terjadi beberapa kali, -katakanlah-, ketaktepatan janji. Agar dapat dikatakan sebagaimana ucapan ‘Umar pada Yahudi yang mengadukan Gubernur Mesir ‘Amr ibn Al ‘Ash, “Cukup kauberikan padanya tulang yang kugaris dengan pedang ini, dia pasti akan mengerti.”

Tapi ada yang berbisik bahwa seakan memang sejak awal Bang FH hanya ditumbalkan untuk merapatkan partai dakwah ke rezim penguasa. Saya maupun hati Bang FH sama-sama tahu, bahwa ini bisikan yang jahat.

Tidak boleh ada yang mengingkari jasa-jasa besar seorang Bang FH bagi dakwah dan negeri ini. Tapi bagi kita kader dakwah, kalau pembelaan pada beliau membuat kita merendahkan musyawarah kelembagaan tertinggi yang di dalamnya ada para sesepuh tercinta seperti Habibana Dr. Salim Segaf Al Jufri, Dr. Hidayat Nur Wahid, Kang Sohibul Iman, Ph.D dan berderet nama Masyaikh lain; saya teringat satu kalimat lagi dari Rasulullah ﷺ saat Khalid membantai kaum Juhainah yang ditawarinya menyerah lalu dia didebat oleh ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, kemudian Khalid menyerapahinya.

“Jangan kalian mencela sahabatku. Jikapun kalian menginfakkan emas seberat Gunung Uhud, niscaya takkan menyamai satu genggam atau setengah genggam tepung mereka.”
Tapi pedang Allah yang terhunus tetaplah pedang Allah yang terhunus. Tapi Bima tetaplah Bima.

Saya mengajak diri saya ini untuk menghormati semua. Jika Bang FH hendak menempuh jalur hukum, biarlah beliau memperjuangkan apa yang diyakini menjadi haknya. Takkan berkurang hormat kita atas segala sumbangsihnya bagi dakwah ini. Tapi kita kader dakwah yang ada dalam jama’ah ini tahu, cinta tak pernah boleh menghalangi sikap adil, sebagaimana perbedaan sikap takkan menafikan cinta.

“Demi Allah aku bersaksi”, ujar ‘Ammar ibn Yasir yang berperang di sisi Sayyidina ‘Ali sementara Ummul Mukminin ‘Aisyah ada di seberang dalam Perang Jamal, “‘Aisyah adalah istri Rasulullah dan Ibu kita semua di dunia maupun di surga. Hanya saja sekarang Allah sedang menguji kita; apakah padaNya kita taat, atau kepadanya.”

Bang FH, engkau ujian bagi kami di sisi Qiyadah kami, dan kamipun adalah ujian bagimu. Semoga kita semua lulus dengan sempurna. Uhibbuka Fillah.

kader awam lagi biasa,
@salimafillah

 

0 Response to "BIMA dan UJIAN KEJAMA’AHAN KITA"

Posting Komentar