Foto Ilustrasi |
PKS Majalengka - Kisah
ini merupakan cerita nyata seorang kawan (semoga Allah senantiasa
mengkaruniakan hikmah dan kebahagiaan baginya). Dia adalah seorang
muslimah, sebut saja namanya Fatimah. Fatimah adalah lulusan S2 Jurusan
Pertanian di salahsatu kampus di Indonesia. Sosoknya cantik, penuh
semangat dan aktif dalam berbagai aktivitas keorganisasian di kampusnya.
Suatu hari, ketika sampai pada waktunya ia ditawari untuk taaruf dengan
seorang ikhwan (laki-laki), yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya
akan menjadi jodohnya.
Ikhwan ini, sebut saja namanya Ali. Ia bukanlah lulusan bangku
perkuliahan, apalagi sampai S2. Sehari-hari aktivitas Ali adalah
mengelola sawah milik keluarga. Ya, Ali bertani setiap hari. Barangkali
tak pernah ada yang membayangkan bahwa, seorang petani bisa menikah
dengan lulusan master pertanian. Benar sekali. Hal itulah yang pertama
kali terbersit dalam fikiran Fatimah saat murobbinya (guru ngaji-red)
menyodorkan biodata Ali kepadanya. Apa sih maksud murobbinya? Kok
bisa-bisanya beliau menawarkan calon pasangan yang tidak selevel dalam
pandangan pendidikan?
Istikharah pun dilancarkan. Keputusan untuk menerima proses taaruf ini
bukanlah persoalan main-main. Karena di dalamnya akan ditentukan
perjalanan hidup dua orang manusia, bahkan dua keluarga. Apa jadinya
jika salah pilih? Tentu bukan kemaslahatan yang tercapai. Setelah
istikharah, Fatimah memperkuatnya dengan bertanya kepada murobbi dan
teman-temannya. Saat itulah teman satu kampus Fatimah bercerita bahwa
Fatimah sebenarnya sudah pernah bertemu di suatu masjid ketika Fatimah
sedang dalam kegiatan kampus. Saat itu Ali menjadi imam Shalat. Mencoba
mengingat-ingat, Fatimah sedikit ingat bahwa memang dulu sempat bertemu
dengan imam masjid di acara tersebut. Namun karena memang hanya bertemu
sekilas, Fatimah tidak bias menangkap kesan apapun dari sana. Akhirnya,
Fatimah pun memutuskan untuk meminta kepada temannya mencari tau tentang
Ali. Setelah segala pencarian dilakukan, Fatimah memutuskan untuk
meminta pendapat orangtuanya. Singkat cerita, orangtua Fatimah meminta
Ali untuk segera ke rumah untuk berbicara dengan Ayah Fatimah.
Hari itu pun tiba. Ali datang dengan penampilan yang sederhana. Sekilas
memang tidak ada yang istimewa dari petani muda ini. Obrolan pun
menjalar kesana kemari, hingga akhirnya Ayah Fatimah menanyakan tentang
pendidikan Ali. Tanpa beban, Ali menjawab bahwa pendidikannya hanya
sampai SMA. Ketika ditanya alasan Ali tidak melanjutkan pendidikan,
terujarlah percakapan begini :
“Saya memahami kondisi keluarga pada saat itu, Pak. Maka saya putuskan untuk mengelola sawah keluarga. “ Jawab Ali
“Lalu, bagaimana Nak Ali bisa yakin untuk meminang anak saya? Apakah Nak
Ali sanggup menanggung nafkah Fatimah nantinya?” Tanya Ayah Fatimah.
“Insya Allah saya siap pak. Meski kelihatannya bertani bukan pekerjaan
yang menjanjikan, saya berani memastikan penghasilan saya lebih dari
rata-rata pegawai tetap. Saya sudah pernah bandingkan, pak. “ Jawab Ali
mantap.
“Baiklah, kalau begitu dua hari lagi kamu datang kembali dengan
orangtuamu kesini. Kami akan tunggu kehadiran kalian.” Pungkas Ayah
Fatimah.
Sebelum pulang, Ali sempat melihat Fatimah, karena sebelumnya memang
belum pernah melihat secara langsung. Tak sengaja keduanya bertatap.
Awalnya, Fatimah tidak menyunggingkan senyum sama sekali. Hambar. Datar.
Meski begitu, Ali melihat sebuah kecantikan yang luar biasa membuat
takjub.
Selama dua hari itu, Fatimah terus memantapkan istikharah dan
pencariannya akan identitas Ali, lelaki yang benar-benar baru bagi
hidupnya. Sempat Fatimah ditanya oleh Ayahnya, bagaimana pendapatnya
tentang Ali. Fatimah menjawab, “Ya..mau bagaimana. Ayah kan sudah kasih
sinyal kalau Ayah menerima dia. Buktinya Ayah menyuruhnya kembali dengan
orangtuanya…” Jawab Fatimah. Saat itu dia belum mantap sama sekali.
Masih ada ganjalan dalam hatinya tentang Ali, dengan segala perbedaan
yang ada.
Selepas berkonsultasi dengan murobbi dan teman-temannya, Fatimah kini
lebih mantap untuk melanjutkan proses ta’aruf ini. Dua hari itu pun
terlewat, Ali pun datang bersama orangtuanya untuk menegaskan niatnya
meminang Fatimah. Sekali lagi Ayah Fatimah bertanya tentang kesiapan
Ali, dan ia tetap menjawab tetap dengan mantap, “Saya yakin Allah Maha
Adil, pak.”. Di hari itulah, untuk pertama kalinya Fatimah
menyunggingkan senyumnya, tanda kemantapannya untuk menerima pinangan
Ali.
Akad pernikahan pun terlewati. Kini Ali dan Fatimah telah terikat dalam
jalinan suci bernama pernikahan. Namun, kisah Ali dan Fatimah tidak usai
disini. Pada awal-awal pernikahan, Fatimah lebih sering memimpin
pembicaraan, terutama mengenai masalah pertanian. Fatimah terkadang
terkesan menggurui Ali. Maklum saja, karena Fatimah memang lulusan
master pertanian. Semua perkataan Fatimah selalu didengarkan dengan baik
oleh Ali. Tanpa pernah ia memotong pembicaraan istrinya sedikitpun.
Hingga suatu hari, Ali mengajak Fatimah untuk ke sawah, mempraktikkan
ilmu yang sering mereka diskusikan. Fatimah penuh semangat menyambut
ajakan suaminya. Namun, setelah sampai di sawah, justru Fatimah menjadi
gelagapan. Ilmu teoritik yang dimilikinya kalah telak dengan ilmu
pengalaman yang dimiliki suaminya. Untuk pertama kalinya, Fatimah merasa
minder pada suaminya.
Tak usai disana. Fatimah rupanya benar-benar sedang dibelajarkan oleh
Allah melalui pernikahannya. Suatu hari dalam halaqohnya, Fatimah dipuji
oleh temannya. Fatimah disebut-sebut sangat beruntung memperoleh suami
seperti Ali. Fatimah tentu bingung dengan pujian itu. Menurut teman
Fatimah, yang suaminya kebetulan satu halaqoh dengan suami Fatimah, Ali
adalah sosok teladan di mata teman-temannya. Ali disebut-sebut aktif
dalam kegiatan masyarakat. Senantiasa melakukan pelayanan bagi
masyarakat di daerahnya, dan membina banyak kelompok halaqoh yang
rata-rata anggotanya adalah lulusan S1 dan S2, jauh di atas level
pendidikan Ali. Mendengar cerita yang baru ia ketahui, Fatimah pun
merasa jauh lebih malu lagi. Mengapa selama ini suaminya diam saja kalau
ia seperti mengguruinya? Mengapa Ali tidak pernah menceritakan ini dan
itu seolah ia orang yang biasa-biasa saja? Pikirnya.
Pulang ke rumah, Fatimah segera mencari suaminya. Ia pun memeluk
suaminya dan menangis sesegukan di bahu suaminya. Ali bingung, mengapa
istrinya pulang halaqoh malah menangis begini? Ada kejadian apa saat
halaqoh sebenarnya? Mencoba menenangkan Fatimah, Ali bertanya perlahan,
“Ada apa duhai istriku?”
“Aku ingin minta maaf. Aku benar-benar malu padamu…”
“Memangnya ada apa?”
Fatimah tak kuasa menahan tangisnya. Cerita maaf pun tertunda sekian
lama hingga Fatimah merasa lebih tenang. Akhirnya, setelah begitu lama
Fatimah menangis, ia pun menceritakan semua yang terjadi dalam
halaqohnya hari ini. Fatimah merasa malu dengan aktivitas dakwah dan
kerja suaminya yang luar biasa tapi tidak pernah bersikap menggurui
padanya.
Ali malah tersenyum,
“Istriku, tidak apa-apa dengan semua itu. Justru sikapmu yang aktif dan
selalu antusias menceritakan banyak pengalaman adalah hal yang aku sukai
darimu..” Kata Ali
Tak ayal, tangisan Fatimah pun berlanjut. Kali ini tangisan haru penuh
kebahagiaan. Betapa ia beruntung dikaruniai suami seperti Ali.
Sejak itu, Ali dan Fatimah lebih banyak berdiskusi dan merencanakan
banyak hal bersama. Banyak agenda dakwah untuk masyarakat kemudian
mereka rancang bersama. Hingga kini, mereka telah dikaruniai oleh Allah,
para penghafal qur’an dari hasil pernikahan mereka.
Luar biasa cerita perjalanan Ali dan Fatimah hingga sampai pada hari
ini. Keduanya menikah untuk belajar memadukan dua kelebihan dan
kekurangan masing-masing untuk menjadi sumber kekuatan dakwah yang baru.
Semoga kisah ini bermanfaat dan dapat diambil pelajaran oleh pembaca
semua. (RD. Sumber--epsh/pksbandungkota)
---beberapa bagian dari cerita ini seperti nama tokoh adalah fiktif, untuk menjaga kebaikan--
0 Response to "Menikahlah… Agar Engkau Belajar "
Posting Komentar