Baru-baru ini dia berhasil meraih gelar pada ajang bergengsi Kejuaraan Okinawa Gojuryu International Karate yang berlangung 2-4 Mei 2014 di Malaysia. Dia berhasil mendapatkan dua perunggu dari kelas kata (kelas seni, red) dan kumite (tarung, red).
Kepada kontributor www.tanjungpinangpks.or.id pelatih atau sinpai Karate Dispora Kepulauan Riau, Selasa (6/5) Leni Marlina mengatakan Zhilal punya bakat dan garang kalau bertanding. Selain itu, menurut Leni, Zhilal juga memiliki cita rasa sosial yang tinggi meski dia anak seorang pejabat. Baca juga: Tak Hanya Kepri, Anak Kader PKS Ini Juga Harumkan Nama Indonesia
"Zhilal ini punya cita rasa sosial yang tinggi saya tidak merasa kalau dia itu anak pejabat dan anggota DPRD. Dia akrab sama anak-anak lain dan dia bahkan mau makan nasi bungkus dengan lauk seadanya ada perbedaan dengan anak pejabat lainnya," terang Leni.
Dijelaskannya, Okinawa Gojuryu International Karate Open ke-XI merupakan kejuaraan karate beraliran Gojuryu diikuti empat belas negara. Dalam kejuaraan ini, panitia memang menetapkan kategori dari usia enam tahun sampai usia dewasa. Inkado Kepulauan Riau hanya mengikuti kategori anak-anak.
Bersama anak-anak lainnya Zhilal tidak hanya mengharumkan nama Kepulauan Riau, tetapi juga Indonesia. [dm/tanjungpinangpks/pksnongsa]
Minggu Pertama, Maret
2005
Dua wanita berjilbab lebar ini terlibat pembicaraan teramat serius.
Tentang masa depan. Tentang pilihan. Tentang pernikahan;
"Saya sarjana, Ustadzah. Tentunya ingin menikah dengan sarjana pula,"
demikian ungkap Meyda mantap.
"Jadi gelar sarjana mutlak menjadi syarat bagimu? Bagaimana dengan
ikhwan bernama Abdullah satu ini, Meyda?" Ustadzah Halimah meneruskan
pertanyaan.
"Begitu. Dan syarat-syarat lainnya masih kurang ana rasa. Afwan,
Ustadzah...."
Hening merayapi keduanya. Untuk ketiga kalinya Ustadzah Halimah
mendapati jawaban serupa dari Meyda. Kata "SARJANA" seolah harga mati
untuk Meyda. Ya, itulah inginnya. Bersuamikan seorang lelaki yang telah
menempuh jenjang pendidikan minimal S1.
Beberapa lembar kertas yang berisikan biodata seorang lelaki bernama
Abdullah itu seolah turut terpaku. Nama yang tak tertuang gelar akademis
seolah barang tak laku di pasaran. Bukan sekali. Dua. tiga, bahkan
entah kesekian kali berpindah dari satu tangan ke tangan wanita lainnya.
Nun, hasilnya tetaplah sama; Ia tertolak!
Dan, Meyda masih berlaku sama. Untuk inginnya. Untuk apa yang ia harap.
Menunggu. Menolak. Menunggu. Menolak. Terus. Terulang hingga berhitung
tahun.
Hari Kelima belas, Maret 2005
"Bagaimana, Ratna? Apakah bisa menerima yang satu ini?" tanya Ustadzah
Halimah di teras sebuah Masjid.
"Sebenarnya ana juga berharap suami yang memiliki pendidikan lebih
tinggi atau minimal setara, Ustadzah" timpal Ratna.
"Jadi...?"
"Setelah ana diskusikan dengan keluarga, semuanya menyetujui. Insya
Allah ana terima, Ustadzah. Namun, ana juga akan mewujudkan mimpi
memiliki suami seorang sarjana, Ustadzah,"
"Lho, jadi bagaimana? Abdullah ini hanya lulusan SMA, Ratna" Ustadzah
Halimah terpaku. Kebingungan bergelayut di wajahnya.
"Lanjutkan saja, Ustadzah. Ana setuju atas nama cinta kepada Allah swt.
Cinta yang sejatinya tanpa syarat demi menyempurnakan dien yang ana
yakini ini," Ratna berkata mantap.
Waktu berlalu. Setiap insan berusaha menggapai mimpi yang ia idamkan.
Hingga suatu waktu, ada jawab atas segala usaha. Ada nyata atas segala
sungguh yang terlaksana.
Minggu Ketiga November 2013,
Ponsel milik Meyda bergetar. Sebuah tanda pesan masuk tergambar di
layar. Jemarinya bergerak. Matanya nanar. Hatinya tergetar. Sebuah nama
yang ia kenal dulu, delapan tahun lalu, yang kini jauh berdiam di negeri
orang menyapanya. Dengan sebuah nomor yang teramat asing; Dia lah
Ustadzah Halimah!
"Assalamu'alaykum. Apa kabar, Meyda? Bagaimana kabar keluargamu? Semoga
Allah swt berikan keberkahan untukmu, suami, serta anak-anakmu ya, Nak.
Lama kita tak berkirim kabar. Semoga engkau sehat selalu. Wassalam
(Halimah, UK)"
Meyda terkesiap. Mematung. Seolah menyesal telah menerima pesan dari
Ustadzah yang sejatinya ia rindukan. Satu sosok yang berhitung tahun tak
berjalin kabar dengannya. Jemarinya mendadak terasa kaku. Meski sebuah
pesan terangkai jua;
"Wa'alaykumussalam wr wb. Alhamdulillah, ana sehat, Ustadzah. Afwan,
sampai hari ini ana belum....."
Pesan balasan Meyda terkirim. Jauh melewati batas samudera. Menerobos
dinding jiwa yang remuk redam. 32 tahun sudah kini usianya. Sendiri.
Entah takdir, entah mimpi...
***
Di tempat lain, mata Ratna berbinar memandang layar ponselnya. Lekas ia
mendatangi Abdullah, suaminya yang sedang berada di teras.
"Lihat. Ustadzah Halimah mengirim pesan, Bi. Duh, kangen banget rasanya
ingin berjumpa beliau," Ratna berseru sumringah.
"Iya. Sama. Atas perantara beliau kita bisa begini ya.... Buruan balas
dong, Mi"
Cepat jemari Ratna bergerak. Kata demi kata terangkai untuk Ustadzah
Halimah;
"Wa'alaykumussalam wr wb. Alhamdulillah, kami semua sehat, Ustadzah. Apa
kabar di sana? Atas do'a Ustadzah, ana jadi juga dapat suami sarjana.
Mas Abdullah kuliah beberapa bulan setelah kami menikah. Sekarang sudah
selesai. Kapan pulang ke Indonesia, Ustadzah?"
Tak lama berselang, ponsel Ratna kembali bergetar. Jauh dari seberang,
Ustadzah Halimah membalas pesannya;
"Tahniah, Ratna. Dengan cinta tak bersyarat, Allah swt ijabah mimpimu.
Subhanallah... dapat juga suami sarjana ya? Walaupun kuliahnya nyambi
jadi bapak rumah tangga. Hehe. Akhir Desember pulang. Insya Allah. Allah
yubariik fiiki,"
Nun jauh di seberang sana, hati Ustadzah Halimah bergolak. Ia melihat
dua orang yang sama-sama ia cintai berdiri pada sisi yang berbeda. Meyda
memiliki jalan berbeda. Pun demikian dengan Ratna. Ia menghela nafas
panjang. Relung jiwanya bergumam; "Allah swt Maha Berkehendak. Ini
tentang pilihan. Tentang sebuah pembelajaran. Tak lebih!"
(*pksbengkalis.org)
Ditulis oleh: Eko Wahyudi
Follow Twitter: @ewahyudie
Sumber: http://www.pksciktim.org/2014/05/fiksi-cinta-tanpa-syarat.html
[pksciktim.org]
Sumber: http://www.pksciktim.org/2014/05/fiksi-cinta-tanpa-syarat.html
[pksciktim.org]
0 Response to "Anak Pejabat Ini Punya Cita Rasa Sosial Tinggi "
Posting Komentar