Impossible is nothing…
Ada rasa kecewa dan prihatin yang menyesakkan saat menulis ini.
Ternyata, tidak banyak orang mampu menghargai sebuah mimpi. Bukan mimpi
yang diartikan bunga tidur, tapi mimpi yang bermaknakan cita-cita.
Ketika seorang petani miskin menasihati anaknya, ”Bermimpilah yang
besar, anakku!” Yang kudengar justru cemooh membahana dari sekitarnya.
Ketika seorang buruh miskin meninabobokan anaknya dalam pangkuan sambil
berkata, “Kelak engkau akan menjadi pemimpin bangsa, anakku…” Maka,
entah bagaimana, orang-orang sepakat menyebutnya schizophrenia.
Dan lima tahun lalu, saat aku berkata, “Aku bermimpi tulisanku bisa
dimuat di surat kabar,” maka teman-temanku pun serentak tertawa dan
menyuruhku jangan bercanda. Sungguh beruntung tak ada yang mengataiku
gila.
Jangan pernah remehkan kekuatan sebuah mimpi!
Lima tahun lalu kucanangkan mimpi itu. Dan kini, tak ada yang
menganggapku bercanda lagi. Sudah tiga kali artikel opiniku dimuat di
surat kabar terkemuka. Dan lebih dari 20 artikel lain beserta cerpen
yang dimuat di surat kabar lokal.
Anehnya, keberhasilan itu tidak lantas membuat mereka percaya. Ketika
kuminta mereka bermimpi dan berjuang pada hal yang sama, mereka pun
berdalih, ”Ah…engkau berhasil karena pada dasarnya punya bakat menulis.
Sedangkan kami tidak dianugerahi Tuhan bakat itu.”
Thomas Alva Edison, sang penemu besar dan pemegang hak paten terbanyak
sepanjang masa, mematahkan dalih itu melalui ucapannya yang masyhur:
“Keberhasilan ditentukan dari 1% bakat dan 99% kerja keras.”
Hanya 1% bakat, bayangkan!
Kalau engkau mengatakan aku berbakat, engkau salah. Tahukah engkau
berapa kali aku mengirim tulisan terbaikku dan tak pernah dimuat? Lebih
dari dua puluh kali! Dan tahukah engkau berapa lama waktu kubutuhkan
untuk mempersiapkan sebuah tulisan? Dua minggu! Bahkan kadang sampai
sebulan.
Itukah yang disebut bakat? Dalam pandang mataku yang lugu ini, fakta tersebut lebih tampak sebagai kerja keras ketimbang bakat.
Masih segar dalam ingatan, betapa berat menanggung kecewa dalam
kegagalan itu. Bayangkan andai engkau merasakannya sendiri. Menghabiskan
hari-hari selama dua minggu di perpustakaan dengan membaca berbagai
buku yang bersesuaian dengan ide tulisan, mempelajari setiap artikel di
koran-majalah yang berhubungan, merenungkan dan menganalisis dalam-dalam
setiap informasinya, lalu menulis dan mengeditnya puluhan kali hingga
tercipta sebuah tulisan yang menurutmu terbaik. Dua minggu engkau tak
mampu berpikir yang lain, kecuali tulisan itu. Dua minggu yang penuh
fokus, bukan dua minggu yang dikerjakan sambil lalu. Dan akhirnya: Sim
salabim! Tulisan itu ternyata tak layak muat. Tulisanmu tak bernilai
apa-apa. Engkau gagal!
Sekarang bayangkan, 20 x 2 minggu engkau harus berkompromi dengan
kegagalan. Dan di setiap kegagalan, engkau harus memulihkan optimisme
lagi, meyakinkan dirimu lagi bahwa harapan itu masih ada, kemudian
engkau harus mencari ide baru lagi, membaca buku-buku lagi, lalu dengan
setengah frustrasi dan putus asa, engkau mencipta tulisan baru. Itu
engkau sebut bakat?
Sobat, jangan pernah batasi mimpi besar anak-anakmu, atau murid-muridmu.
Biarkan mereka bermimpi besar, karena berani bermimpi besar adalah
langkah awal menuju kesuksesan.
Ada seseorang bilang, “Mimpi tiada berguna. Yang penting adalah usaha dan kerja keras.” Benarkah? Mari kutunjukkan padamu…
Milyaran orang telah mempraktikkan nasihat itu. Dan apa hasilnya? Coba
tengoklah para petani. Menurutmu, masih kurang kerja keraskah mereka
hingga nasibnya tetap miskin? Lihatlah pula buruh pabrik yang memeras
keringat dari pagi hingga petang tanpa pernah menjadi kaya. Lihatlah
para kuli yang dipanggang matahari setiap hari namun tak menyisakan
apa-apa kecuali kemiskinan. Mereka adalah pekerja keras yang luar biasa,
tapi hanya mendapat lelah belaka.
Tahukah engkau kenapa? Karena sejak kecil mereka diajarkan oleh orang
tuanya, oleh guru-gurunya, oleh orang-orang di sekelilingnya, agar tidak
usah bermimpi besar. Mimpi besar itu milik orang berduit. Mereka hanya
berani bermimpi agar esok hari tetap bisa makan nasi. Mereka bermimpi
agar esok anak-anaknya tetap bisa sekolah, tanpa peduli anaknya kelak
akan mengulang kemiskinan yang sama. Dan bagai monster laknat, nasib
akan terus menelan mereka bulat-bulat.
Sir Isaac Newton barangkali cuma jadi petani biasa andai mengikuti saran
gurunya yang ‘bijaksana’ untuk meneruskan pekerjaan orang tuanya saja.
Soekarno tak akan pernah jadi presiden RI andai mendengarkan saran
teman-temannya yang menyuruhnya terima nasib saja.
Sama seperti engkau yang dengan dalih kebijaksanaan, menyuruh
murid-muridmu (barangkali juga anak-anakmu kelak) untuk melupakan mimpi
besarnya menjadi dokter dengan alasan keterbatasan biaya. Sama seperti
ucapan orang-orang tidak terhormat yang mengatakan orang cacat tak mampu
memberi sumbangsih hebat. Itu ucapan-ucapan sesat.
Izinkan aku bertanya. Pernahkah tercantum dalam kitab suci, baik
tersurat maupun tersirat, bahwa profesi dokter hanya bisa diraih oleh
orang-orang kaya semata? Pernahkah Nabi bersabda semacam itu juga?
Pernahkah para ulama berfatwa tentangnya? Tidak.
Jadi, atas dasar apa engkau membunuh mimpi anak-anak itu? Atas dasar apa
engkau lancang memutuskan bahwa mereka sebaiknya mengubah cita-cita
saja karena tak ada biaya? Bukankah seharusnya tugasmu adalah
mengarahkan mereka agar berani bermimpi besar? Agar bangsa ini pun suatu
saat menjadi bangsa yang besar. Kalau tidak, selamanya bangsa kita akan
kekal jadi pecundang.
Mimpi membuat kita punya tujuan, punya arah. Saat segalanya terarah dan
fokus, energi tercipta lebih besar. Seperti cahaya yang mampu membakar
kertas saat terfokus. Seperti itulah hidup.
Pada akhirnya engkau akan mengerti, bahwa di saat itu kesuksesan cuma
soal waktu belaka. Dan setiap kegagalan hanyalah sebuah kesuksesan yang
tertunda.
Seperti Thomas Alva Edison saat menyikapi setiap kegagalan
eksperimennya: “Aku tidak gagal. Aku hanya menemukan 999 cara membuat
bola lampu ini tidak berpijar. Aku hanya perlu menemukan 1 cara lain
untuk membuatnya bisa berpijar.” Sejarah kemudian mencatat, Thomas Alva
Edison adalah sang penemu bola lampu pijar.
sumber *http://sosbud.kompasiana.com/2013/06/05/the-power-of-dreams-566305.html
0 Response to "The Power of Dreams"
Posting Komentar