You may not
think about politic, but politic think about you.”
(Suu Kyi - The Lady, 2011)
PKS kembali menjadi berita.
Pada 15 Juni 2013 malam hari, linimasa Twitter cukup ramai dengan retweet foto
dan berita pengembalian mobil berplat B 544 RFS yang disita KPK di DPP PKS pada
15 Mei 2013 terkait dugaan korupsi TPPU oleh LHI. Timbul pertanyaan mengenai
pengembalian benda yang dikenakan penyitaan oleh penyidik, apakah hal tersebut
dibenarkan?
Penyitaan sendiri adalah
tindakan penyidik untuk mengambil alih benda bergerak/ tidak bergerak,
berwujud/ tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutann dan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 38-46 KUHAP.
Menurut Pasal 38 ayat (1)
UU 30/2002, terkait penyitaan oleh KPK mengikuti aturan dalam KUHAP. Benda yang
dikenakan penyitaan dikembalikan kepada yang paling berhak, jika:
- Tidak diperlukan lagi untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, atau
- Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti/ bukan tindak pidana, atau
- Perkara tersebut dikesampingkan/ dideponer untuk kepentingan umum. Atau
- Perkara tersebut ditutup demi hukum (karena alasan nebis in idem/ tersangka meninggal dunia/ daluwarsa), atau
- Perkara tersebut sudah diputus Hakim, kecuali menurut putusan Hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Berdasar aturan diatas,
tindakan KPK mengembalikan mobil berplat nomor B 544 RFS kepada DPP PKS adalah
dibolehkan menurut peraturan perundang-undangan. Selanjutnya diketahui bahwa
pengembalian mobil tersebut dikarenakan mobil tersebut tidak terkait dengan
dugaan TPPU oleh LHI, maka mobil tersebut dikembalikan KPK kepada DPP PKS.
Sekedar menyegarkan ingatan
kita kembali, ada dua mobil di DPP PKS yang disita KPK dengan huruf seri RFS. B
544 RFS dan B 948 RFS. Diketahui bahwa RFS sendiri adalah huruf seri plat
khusus untuk mobil dinas pejabat kementerian tertentu. Sampai saat ini, belum
ada yang memberitakan KPK mengembalikan mobil dengan plat B 948 RFS.
Terkait dengan pengembalian
mobil B 544 RFS ini, tidak lama setelahnya Fahri Hamzah menulis dalam akun
Twitternya, “Waktu ngambil blagunya ampun…giliran salah gak minta
maaf…katanya BERANI JUJUR HEBAT….”
Kekecewaan mendalam kepada
KPK juga sudah terlihat dari ramainya komentar akun Twitter dan Facebook
beberapa bulan belakang ini yang menyayangkan mengapa KPK begitu gesit mengurus
kasus dugaan TPPU oleh LHI, tetapi sangat berbeda dengan penanganan kasus
dugaan korupsi BLBI, dana talangan Bank Century dan proyek Hambalang. Aset LHI
dirampas, tapi tidak terhadap Angelina Sondakh.
Kalau melihat dari sisi
hukumnya, aturannya jelas dan siap dilaksanakan. Jadi, tinggal melihat
bagaimana tekad penegak hukumnya saja untuk mau menegakkan hukum atau
membiarkannya mati.
Tanpa bermaksud sengaja
mencari noda, KPK sendiri bukan tidak pernah keliru. Pertama, tindakan
penyitaan dan penggeledahan oleh KPK pada Juni 2011 terhadap mantan hakim
Syarifuddin Umar diputus melawan hukum oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Sehingga KPK harus membayar denda sejumlah Rp 100 juta kepada mantan
hakim tersebut, walaupun ia dinyatakan terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1)
huruf b UU 20/2001 karena telah menerima uang suap Rp 250 juta dari kurator PT
Skycamping Indonesia, Puguh Wirawan.
Selain itu, fakta
menunjukkan bahwa tidak selamanya mereka yang menjadi tersangka/terdakwa kasus
korupsi adalah benar melakukan tindak pidana korupsi. Pertama,
kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat oleh Merpati yang menyeret nama Hotasi
Nababan dan akhirnya kasus tersebut malah menjadi putusan bebas pertama kalinya
oleh hakim pengadilan tipikor di Indonesia. Dalam bukunya berjudul “Jangan
Pidanakan Perdata: Mengggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati”, Hotasi Nababan
menuliskan,
“…bahwa semangat perang
melawan korupsi dapat dibelokkan untuk menindas orang yang terkena perkara di
wilayah publik,… Ancaman hukuman korupsi menjadi komoditi yang menguntungkan
banyak pihak, kecuali pesakitan. Opini publik telah menjadi pengadilan jalanan.
Sekali seorang menjadi ‘tersangka’, maka dia akan beruntun menjadi ‘terdakwa’
dan ‘terhukum’. Nama baik akan hilang dan keluarga terbawa malu. Jika tidak
bersalah pun, negara tidak akan melakukan rehabilitasi.
Di awal Orde Baru, cap
“PKI” sangat ampuh menghilangkan hidup seseorang dan keluarganya. Tidak ada
pembelaan, tidak ada banding. Kehidupan dirampas. Saat ini cap “koruptor”
sangat manjur untuk menghilangkan kehormatan dan karir seseorang. Tidak ada
lembaga yang akan menampung keluhannya. Komnas HAM pun tidak punya piagam untuk
membela orang yang terkena salah tuduh korupsi. Jeratan kasus korupsi
benar-benar sebuah musibah.”
Kedua, kasus dugaan korupsi L/C Fiktif Bank Century oleh
Misbakhun, yang dalam pembukaan pledoinya Misbakhun menyatakan bahwa ia
dipenjara karena menjadi inisiator Hak Angket DPR tentang Skandal Bank Century
dan Anggota Tim 9. Dalam bukunya berjudul “Pledoi Kebebasan: Menguak Fakta,
Rekayasa Hukum dan Kriminalisasi di Balik Opini “L/C Fiktif”, Misbakhun
menulis,
“…bahwa hukum seharusnya
melahirkan keadilan, bukan semata hukuman. Hukuman itu pun adalah realitas dari
hakikat keadilan. Karena itu, adagium klasik yang menyatakan bahwa lebih baik
membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak
bersalah, adalah prinsip keadilan yang harus dijunjung tinggi.
Hukum ada untuk saya, untuk
Anda, untuk mereka, untuk kita semua. Karena itu, hukum yang berkeadilan adalah
hukum yang melindungi. Tatkala hukum mengancam individu, pada saat itulah hukum
tidak berjalan sebagaimana tujuan dan fungsi idealnya. Keputusan bebas yang
saya terima melalui upaya PK juga sekaligus membuktikan bahwa hukum tidak
sepenuhnya berlaku sebagai pelindung. Hukum yang berada dalam genggaman
kekuasaan hanya mampu mengkriminalisasi, menggerus hak-hak subyek hukum dan
merampas kebebasan pencari keadilan.”
Tetapi kekecewaan sejumlah
pihak terhadap KPK tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk membubarkan KPK.
Ide tersebut dirasa belum menjadi solusi yang tepat untuk Indonesia saat ini.
Jika KPK tidak ada, lalu siapa penyidik dan penuntut umum yang akan mengurus
perkara korupsi yang terjadi?
Kembali pada kasus dugaan
TPPU oleh LHI. Pengajar di FISIP Universitas Bengkulu, Lamhir Syam Sinaga,
menyatakan jika PKS dalam keadaan aman dan tidak bermasalah maka
kemungkinan besar PKS akan menjadi partai nomor satu di Indonesia pada
Pemilihan Umum tahun 2014 mendatang. Kepentingan asing juga ikut
mempengaruhi, dikarenakan ketakutan terhadap kemenangan PKS yang akan membentuk
poros baru (yaitu Islam) bersama dengan Erdogan di Turki dan Mursi di Mesir
dimana ketiganya memiliki ideologi yang sama. Maka wajar, sebelum PKS membesar
dan mulai membentuk kekuatan baru, harus dihancurkan perlahan.
Selain LHI,
beberapa waktu lalu PKS kembali ‘digoreng’ media dengan isu kenaikan harga BBM,
dimana jumlah BBM bersubsidi oleh negara akan dikurangi dan bahkan dihilangkan.
Kwik Kian Gie dan Anggito Abimanyu sendiri pernah menyatakan bahwa selama ini
tidak pernah ada subsidi BBM. Suara kritis lainnya diteriakkan oleh
Muhammadiyah, Petromine Watch Indonesia, Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia dan
Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina.
Direktur
Lembaga Survey Indonesia menyampaikan bahwa terdapat potensi keuntungan
elektoral dari program BLSM sebagai kompensasi naiknya harga BBM. Hal tersebut
melihat pengalaman program BLT di tahun 2009 lalu. Di DPR, baru PKS, PDIP,
Gerindra dan Hanura yang menolak kenaikan harga BBM.
Sampai
pertengahan tahun 2013 ini, PKS sudah dua kali mendapat pemberitaan
negatif. Pertama, tentang kasus dugaan TPPU oleh LHI. Kedua,
sebagai partai yang pertama kali terang-terangan menolak kenaikan harga BBM dan
hal tersebut dianggap pencitraan.
Sampai saat
ini, PKS termasuk partai dengan tingkat pemberitaan yang cukup tinggi di beragam
media, khususnya media online. Di sisi lain, 9 April 2014 semakin
mendekat. Menjadi pertanyaan besar, apakah ramainya pemberitaan negatif di
media akan mempengaruhi suara PKS?
In 2014, see
PKS die (?).
You can fool all the people some of the time, and some of the people all
the time,
but you cannot fool all the people all the time.
(Abraham Lincoln)
Oleh:
Yurista
Yohasari
Mahasiswi
Magister Hukum Universitas Indonesia

Komentar
Posting Komentar