#Nikah, Tak Sekedar Sah

Sekedar merekam yang sudah tertulis di status. semoga bermanfaat, terutama buat saya pribadi  :)
1. suatu sore, sepulang kuliah pasca, menjelang nikah. seorang gadis buru-buru mengambil jatah undangannya (untuk dibagikan) ke suatu rumah ikhwah. tuan dan nyonya rumah belum pulang, yang ada si embak. kebetulan rumah itu ada di persis di belakang kantor ‘beliau’. setelah mengangsurkan setumpuk undangan jatahnya, si embak bilang, “mbak, masuk dulu, minum teh dulu. ini kan sudah mau jam pulang kantor. mas nya biasanya mampir sini dulu kok, ngobrol sama bapak. paling lima menit lagi juga datang”
haaah? begitu ya? lima menit lagi? etdah, langsung buru2 pamitan, mau lari ngibrit bawa undangan, daripada nanti ketemu di jalan. tapi si embak sempat2nya teriak, “lho mbak… kok buru2? nggak nunggu mas nya?”
dalam hati mau bilang, “mbuh ah”  *sambil deg2an gak keruan*
#baladapranikah.
2. cerita lagi. pasca #nikah, saya bertanya ke suami, kenapa memilih saya sebagai istri. ternyata, menurut beliau, saat itu dia justru sedang memegang CV akhwat lain, sedang mencari kemantapan hati untuk CV tersebut. Tapi ternyata, setiap ba’da istikharah, selalu bermimpi tentang saya, selama tiga hari berturut-turut. sementara saya tak dia ketahui keberadaannya dimana saat itu. sedang yang muncul di mimpinya adalah gambaran saya waktu masih jamna sekolah, sedang keluar dari musholla usai sholat dhuha pada jam istirahat pertama. (hiyaa culun banget dong ya :)
mimpi yang membuatnya tak enak tidur tak enak makan, lalu berdoa untuk dipertemukan, jika memang jodoh. … dan Allah lalu Maha Mengatur :)
3. cerita lagi tentang #nikah. ada satu teman suami gak bisa datang ke pernikahan, yang memang diadakan di kampung halaman. balik ke jakarta dan pas ketemu di kantor, dia memberikan kado mungil sebesar kardus kpi sasetan isi 5 biji, dibungkus rapi dengan kertas kado warna warni. dia serahkan dengan santai, “maaf ya kemarin gak bisa datang, ini kadonya buat kalian”.
lalu kado dibawa pulang, diletakkan bersama kado-kado lainnya yang masih berdatangan dari teman2 yang tak sempat datang. saya tertarik dengan kado mungil itu. saya angkat, bunyinya kok koclok2, isinya gak padat. “dasi kali, buat kerja” kata saya asal. penasaran, saya ijin untuk membukanya.
dan ternyata… isinya apa? uang lembaran seratus ribuan sebanyak 10 lembar!
sampai kaget banget. 14 tahun lalu, nilai uang segitu sangat signifikan untuk sebuah kado pernikahan. sangat lumayan untuk modal ngontrak rumah setahun di metropolitan
#alhamdulillah, hikmahnya menikah. Allah yang mencukupkan.
4. tentang #nikah lagi. kalau masih berdua, kebutuhan akan khadimat belum terasa. tapi begitu ada anak, biar ibu tak bekerja, ada aktivitas2 keluar yg tak bisa bawa anak. di rumah kontrakan, ada tetangga sebelah yg sudah sepuh, cucunya 1 sebaya hurin. kami panggil ‘eyang mansur’. jika saya harus pergi, justru eyang mansur yg inisiatif ambil hurin. bahkan sampai kami pindah rumah, eyang suka menginap di rumah. nengok cucu, katanya.  selain eyang mansur, juga ada beberapa tetangga di tempat kontrakan yang cukup dekat, yang secara berkala (paling tidak ;ebaran) kami berusaha mengun junginya kesanauntuk mempertahankan tali siltaturrahim. alhamdulillah, gegara ngontrak pasca menikah, malah nemu banyak saudara.
5. memasuki sya’ban ini, lalu sayamengenang sebuah proses #nikah kami yang cukup kilat, pas hanya satu setengah bulan, sejak ta’aruf hingga menikah. tanggl 1 oktober dikenalkan oleh guru ngaji, 11 oktober dikhitbah di kampung halaman, lalu tanggal 15 november nya menikah, dan…. sebulan kemudian shaum ramadhan dengan penuh perjuangan :)
jika mbah kakung saya masih hidup, mungkin akan lebih singkat lagi, hanya 11 hari prosesnya. karena mbah, setiap menerima khitbah untuk cucu-cunya, selalu langsung menikahkan saat itu juga, biar aman secara agama katanya. perkara urusan administrasi KUA, “itu gampang, urusan dunia, bisa diurus besok”. maklum, karena beliau mantan Kepala Dep. Agama sekaligus ketua MUI setempat :)
dan bagi keluarga kami, penghulu memang hanya petugas pencatat nikah, itu tugas utamanya. hanya mencatat, bukan menikahkan. maka yang menikahkan tetap walinya langsung, bapak. jadi, setiap menikahkan anak2 gadisnya, penghulu yang datang hanya duduk manis mencatat. seluruh prosesi sudah dihandel oleh mbah, pakdhe-pakdhe, dan bapak, yang kebetulan, barangkali, cukup dikenal sebagai ulama atau minimal senior di Dep. Agama. Pak penghulu yang rerata masih muda, biasanya ikut saja :)
maka yang perlu dicatat, cinta bukanlah syarat mutlak untuk menikah. tak perlu bicara cinta dulu, karena ia akan datang pelan-pelan saat kedua pihak siap lahir bathin. mencinta, ketika sudah saatnya, jauh lebih utama daripada menunggu rasa cinta. maka waktu yang singkat tak akan jadi kendala. malah berkah, insya Allah. tak perlu berlama-lama terjena virus pinky ria.
#coz LOVE is a VERB :)
6. tetapi #nikah, tanpa persiapan ruhiyah yang kuat, maka yang terjadi adalah penyatuan fisik, cinta dan nafsu semata. termasuk di dalamnya penyaluran kebutuhan biologis (saja). berhenti di situ. tidak salah, tapi sayang sekali. sedang nilai menikah akan jauh lebih tinggi, jika diniatkan, lalu dipagari, sebagai ibadah, dalam rangka melanjutkan estafeta dakwah.
dan itu, tak mudah. butuh kesabaran, ketekunan, ibadah yaumiyah yang berkelanjutan… jauh sebelum proses menikah itu sendiri, menjelang, selama, dan sesudahnya. hingga ajal tiba. semoga…
# di jalan dakwah aku menikah, insya Allah
7. maka, #nikah, sangatlah tepat disebut menggenapkan separuh agama. selain masalah ibadah yang bernilai lipat ganda, saya juga melihatnya dari sudut lain. bahwa segala macam potensi sebelum menikah, itu baru terhitung SEPARUH. separuhnya lagi akan terlihat pasca dia menikah. akan tetap prima seperti saat sebelum menikah, atau lalu menjadi loyo tak bertenaga disibukkan dengan urusan keseharian rumah.
karena memang, fenomena sekitar memperlihatkan gejala demikian. betapa banyak yang dulunya aktivis penggerak dakwah, begitu menikah menghilang tak tentu arah. ada yang menghilang pelan-pelan, ada yang secepat kilat. sayang sekali.
nah, apalagi kalau sebelum nikah saja sudah nggak jelas ke mana arahnya, kesana kemari sesuai arah angin bertiup. bagaimana pula sesudah menikah?
lalu, hanya mereka yang mampu membingkai rumah tangganya dengan ruhiyah yang kuatlah, yang akan mampu terus bertahan. menangani sektor domestik, lalu tetap tegak berdiri memberikan kontribusi dakwah yang lebih luas untuk masyarakat. karena aktivitas di sektor publik tak akan berjalan dengan baik, selama sektor domestiik tak tertangani dengan apik.
#NtMS

0 Response to "#Nikah, Tak Sekedar Sah "

Posting Komentar