Jakarta - Ketua DPR Marzuki Alie dan Wakilnya
Pramono Anung mengaku tidak mengetahui adanya perencanaan pemberian dana
senilai Rp 155 miliar untuk Lapindo. Pengakuan kedua pimpinan DPR ini dirasa
janggal. Berbagai kritikan tajam pun terlontar kepada para pimpinan wakil
rakyat tersebut.
Menkokesra Agung Laksono mengatakan
sebagai pemimpin DPR harusnya kedua orang itu mengetahui apa-apa saja yang
dibahas dalam anggaran.
"Saya kira itu sudah dibahas dalam
di rapat-rapat DPR. Jadi saya kira kalau sudah diputuskan semua wajib
mengetahui. Tidak ada yang tidak tahu. Sehingga itu sudah diputuskan DPR, harus
diketahui dalam pembahasan seperti itu," kata Agung di Kemenkokesra, Rabu
(19/6) kemarin.
Agung mencontohkan sewaktu dirinya
menjadi Ketua DPR, dia mengetahui semua apa yang dibahas dalam RAPBN. Tidak ada
alasan bagi seorang ketua untuk tidak mengetahuinya. "Kalau saya dulu jadi
Ketua DPR, harus begitu," ujarnya.
Wakil Ketua DPR Pramono Anung berani
bersumpah dirinya tak mengetahui adanya pasal Lapindo dalam RUU APBN-P 2013.
Dia baru tahu, saat pembahasan RUU tersebut dibawa dalam lobi-lobi rapat
paripurna di DPR, Senin (17/6) lalu.
"Sebagai pimpinan, saya baru
mengetahui hal ini di forum lobi. Di sebelumnya, enggak tahu sama sekali. Kalau
perlu sumpah Tuhan saya berani," kata Pramono di Komplek Parlemen, Senayan
Jakarta.
Menurut Pramono, kalau pun Pasal 9 RUU
APBN-P 2013 yang disebut sebagai pasal Lapindo tersebut diubah, tentu bakal
mempengaruhi semua konstruksinya. Selain dirinya, Pramono juga menjelaskan
kalau Ketua DPR Marzuki Alie baru mengetahui saat rapat lobi-lobi tersebut.
"Mungkin karena pimpinan enggak
diinformasikan secara lengkap. Malah saya yakin Pak Marzuki Alie baru tahu di
forum itu (lobi)," ungkapnya.
Politikus PDIP Hendrawan Supratikno
bahkan menduga ada korelasi dengan Golkar yang mendukung kenaikan BBM.
"Saya rasa ada korelasi antara
dukungan Golkar terhadap APBNP 2013 dengan Pasal 9 (RUU APBN-P). Tetapi apakah
pasal 9 ini dijadikan pra kondisi bagi Golkar untuk berikan dukungan, kita bisa
menyampaikan dugaan. Tapi korelasinya pasti ada," kata Hendrawan yang juga
anggota Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (19/6).
Hendrawan menilai, adanya kewajiban
pemerintah mengeluarkan Rp 155
miliar
yang tertuang dalam RUU, merupakan tambahan dana untuk menangani dampak lumpur
Lapindo. Seharusnya, porsi tanggung jawab kasus Lapindo tak bisa sepenuhnya
ditanggung pemerintah.
"Munculnya lumpur ini karena
kelalaian saat mengebor, tentu kita tidak bisa menjadikan tanggung jawab
sepenuhnya dari pemerintah, konsekuensi APBN yang menanggung," lanjutnya.
Munculnya pasal Lapindo diduga karena
adanya tekanan politik. Saat ini Partai Golkar dinilai partai kuat, dan
jaringan yang juga kuat. Karena aspek itu, pemerintah sangat memperhitungkan
Golkar.
"Kan saat di paripurna disebut-sebut
suara Golkar suara rakyat, tapi kali ini berbeda, suara Golkar beda dengan
suara rakyat. Golkar kan seperti itu, yang lain berkeringat, Golkar tidak
berkeringat, dapat jatah yang lebih besar," ujarnya.
Setelah anggaran penanganan dampak
lumpur Rp 155 miliar yang termaktub dalam RUU APBNP 2013 disetujui di
paripurna, kini Komisi V DPR menyetujui pagu anggaran untuk Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tahun anggaran 2014 sebesar Rp 845,1
miliar.
"Untuk Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo 2014, yang diajukan sebesar Rp 845,129 miliar, pagu RKP sesuai yang
diajukan," kata Ketua Komisi V DPR, Laurens Bahang Dama saat membacakan
kesimpulan rapat kerja dengan mitra Komisi V DPR RI di Gedung DPR, Senayan
Jakarta, Rabu (19/6).
Sebelumnya diberitakan, pemerintah sudah
menggelontorkan anggaran untuk penanggulangan lumpur Lapindo hingga total
sebanyak Rp 6,2 triliun. Anggaran itu dihitung mulai 2008 hingga 2013.
Sementara alokasi anggaran pada 2007, sebesar Rp 505 miliar, diambil dari pos
anggaran darurat.
"Yang dihitung menggunakan APBN itu
mulai 2008. Tapi kalau 2007, waktu itu BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo) belum bisa mengajukan anggaran sendiri," kata Humas BPLS
Dwinanto Prasetyo, Rabu (19/6).
Prasetyo merinci, pada 2007 anggaran
darurat yang dicairkan untuk penanggulangan lumpur mencapai Rp 505 miliar.
Sementara alokasi APBN 2008 sebesar Rp 1,1 triliun, 2009 sebesar Rp 1,147
triliun, 2010 sebesar Rp 1,216 triliun, 2011 sebesar Rp 1,286 triliun, 2012
sebesar Rp 1,533 triliun dan 2013 sebesar Rp 2,256 triliun.
Selain menyetujui pagu anggaran untuk
penanganan lumpur Lapindo, Komisi V DPR juga menyetujui pagu anggaran sejumlah
mitra kerja di pemerintah untuk 2014. Kementerian Pekerjaan Umum Rp 68,714
triliun, Kementerian Perhubungan Rp 33,558 triliun, Kementerian Perumahan
Rakyat Rp 4,264 triliun, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal Rp 1,130
triliun.
(HrS)
0 Response to "Memprihatinkan : Ketua DPR-RI Konyol, Mengesahkan RAPBN Tapi Tidak Tahu Isinya..."
Posting Komentar