Alhamdulillah, dakwah kita—dengan pertolongan Allah, bi’aunillah wa ri’ayatihi—selalu diberi kesempatan dan peluang juga kekuatan untuk selalu mengembangkan diri; untuk selalu mampu merespon dan mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang kita hadapi dalam dakwah.
Modal utama agar kita selalu mampu merespon, mengantisipasi
perkembangan-perkembangan, tuntutan-tuntutan dakwah adalah kebersamaan
kita dalam amal jama’i. Jama’ah kita adalah sebuah wadah yang selain
untuk menunaikan tugas-tugas dakwah, tugas-tugas keislaman, tugas-tugas
amar ma’ruf nahi munkar, juga adalah wadah untuk memupuk, mengembangkan,
mengokohkan kemampuan kita beramal jama’i. Sudah barang tentu, amal
jama’i dalam implementasinya, dalam pelaksanaannya dari waktu ke waktu
selalu menuntut pengembangan-pengembangan; selalu menuntut
pertumbuhan-pertumbuhan.
Di mihwar tanzhimi, amal jama’i kita dalam gerakan dakwah terasa
eksklusif, terasa ruang lingkup amal jama’i itu sangat terbatas.
Dibatasi oleh batas-batas struktural. Dimana ruang lingkup tawasul
(komunikasi) kita sebagai salah satu rukun amal jama’i adalah terbatas.
Begitu juga ruang lingkup ta’aruf juga sangat terbatas. Ruang lingkup
saling memahami, tafahum, juga sangat terbatas. Karena memang sekali
lagi, ruang lingkup komunikasi kita terbatas. Ruang lingkup ta’aruf
terbatas, otomatis ruang lingkup tafahum kita juga terbatas. Dan
seterusnya ruang lingkup ta’awun kita juga terasa terbatas. Takaful
kita, tadhammun kita juga terasa sangat terbatas. Meskipun terbatasnya
tawasul, ta’aruf, ta’awun, tafahum, dan takaful kita, tapi dia adalah
merupakan upaya membangun basis awal dari kekokohan amal jama’i kita.
Modal dasar amal jama’i kita dibangun pada mihwar tanzhimi.
Alhamdulillah, modal dasar amal jama’i yang dibangun di saat mihwar
tandzimi, dalam berbilang tahun mulai kita kembangkan,setelah memasuki
mihwar ijtima’i atau mihwar sya’bi, ruang lingkup tawasul kita diperluas
dalam ruang lingkup keummatan yang lebih luas melampaui batas-batas
structural. Melampaui hudud tanzhimiyah kita.
Tawasul (komunikasi) kita kembangkan di dalam pergaulan bermasyarakat.
Ta’aruf kita lebarkan sayapnya. Sehingga kita berta’aruf dengan seluruh
lapisan dan komponen masyarakat. Begitu juga ta’awun, tafahum, dan
takaful, kita kembangkan di tengah-tengah masyarakat luas. Tapi itu pun
masih terbatas dalam ruang lingkup keummatan sesama umat Islam. Walaupun
waktu itu, kita sudah biasa melampaui batas-batas kejama’ahan,
kepartaian, dan institusi-institusi apa pun namanya. Apakah yayasan,
LSM, ma’ahid dan madaris. Kita kembangkan amal jama’i kita lebih luas
dibanding dari mihwar tanzhimi.
Sudah barang tentu, Alhamdulillah ternyata terbukti, bahwa mihwar
tanzhimi adalah sebuah basis yang kokoh untuk memasuki mihwar ijtima’i.
Sering saya katakan, mihwar tanzhimi adalah muqaddimah untuk menuju
mihwar ijtima’i. ternyata ikhwan dan akhwat bisa mengembangkan tawasul,
ta’aruf, tafahum, ta’awun, dan takaful ijtima’i-nya. Bahkan di sector
ini kita sudah diakui di tengah-tengah masyarakat. Semua itu tidak
terlepas, pertama-tama dari bantuan, inayah dan ri’ayah Allah SWT. Yang
kedua, adalah karena di back up, didorong, di backing oleh amal jama’i
yang kokoh, insya Allah.
Demikianlah, amal jama’i selalu menuntut perkembangan-perkembangan.
Selalu menuntut khutuwat tathwiriyah selamanya dan seharusnya harus
diimbangi khuthuwat ta’shiliyah, upaya mempertahankan orisinalitas,
upaya mempertahankan keaslian. Baik dari segi harakah Islamiyah atau
juga dari segi harakah da’awiyah. Tapi sekali lagi, menjaga keaslian
harakah Islamiyah dan harakah da’wiyah tidak boleh menghalangi
perkembangan-perkembangan khuthuwat tathwiriyah dalam pergaulan kita di
tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan di tengah-tengah
kehidupan kemanusiaan.
Saya ingatkan kembali bahwa setiap mihwar adalah merupakan muqaddimah
dari mihwar berikutnya. Atas dasar itu bahwa mihwar ijtima’i yang telah
mengantarkan ikhwan dan akhwat terhadap sebuah pengakuan akan prestasi,
keahlian, kepakaran, dan kelayakannya bergaul di tengah-tengah
masyarakat. Memberikan kontribusi positif dalam kehidupan bermasyarakat
dalam ruang lingkup keumatan, berbangsa dan bernegara.
Insya Allah ini merupakan modal utama kita untuk semakin mendewasakan
kita dalam mihwar muassasi, dimana tuntutan amal jama’i dalam mihwar
muassasi sudah barang tentu jauh lebih berkembang, lebih luas, lebih
lebar sayapnya dibanding amal jama’i dalam ruang lingkup mihwar tanzhimi
dan mihwar ijtima’i. Karena mihwar muassasi merupakan muqaddimah dari
mihwar daulah. Dimana amal jama’i kita bukan saja mampu kita kembangkan
di ruang lingkup kejama’ahan dan keumatan, tetapi justru harus semakin
mampu mengembangkan amal jama’i dalam ruang lingkup pergaulan
kemanusiaan, pergaulan internasional. Dimana ikhwan dan akhwat sudah
mulai dikenal di dunia internasional. Bahkan mendapat undangan-undangan
di momentum-momentum internasional. Ini adalah merupakan bawadir atau
langkah-langkah awal menuju mihwar daulah yang harus secara terus
menerus kita kembangkan dalam mihwar muassasi ini.
Sudah barang tentu konsekuensi amal jama’i kita di mihwar muassasi ini,
bukan saja kita berkewajiban melaksanakan keniscayaan memperkokoh
hasil-hasil amal jama’i kita di dalam ruang lingkup mihwar tanzhimi, dan
memperkokoh, memperkuat hasil-hasil amal jama’i kita dalam mihwar
ijtima’i. Tapi di mihwar muassasi ini kita harus semakin mampu
mengembangkan, menumbuh kembangkan, melebarkan ruang lingkup amal jama’i
kita dengan segenap rukunnya. Kemampuan bertawasul kita harus melampaui
batas-batas kejama’ahan, keumatan, dan organisasi kepartaian. Bahkan
melampaui batas-batas institusi-institusi yang dibatasi oleh ideologi,
keagamaan, dan kebangsaan. Kita harus mampu mengembangkan tawasul dengan
seluruh komponen kemanusiaan.
Oleh karena itu tawasul bukan hanya sekedar tawasul. Berkomunikasi bukan
sekedar berkomunikasi. Tapi harus ditindaklanjuti dengan kemampuan kita
mengembangkan ta’aruf (saling mengenal) antara karakter masing-masing
lingkungan. Apakah kepartaian, kejama’ahan, etnik, kebangsaan, ideology,
dan keagamaan. Kita harus berta’aruf dan selanjutnya harus bisa
bertafahum (memahami). Memahami siapa mereka dan siapa kita. Memahami
madza nuriidu minhum, apa yang kita inginkan dari mereka. Memahami madza
yuriiduuna minna, apa yang mereka inginkan dari kita. Sehingga melalui
basis pemahaman yang mendalam itu, kita bisa melakukan al-akhdzu wal
‘atha (take and give) memberi dan menerima dalam rangka merakit
kebersamaan dalam ruang lingkup yang lebih luas. Bukan hanya dalam
kejama’ahan, keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Bahkan merakit amal
jama’i dalam ruang lingkup kemanusiaan antar bangsa, umat, agama,
partai, ideology, dan keyakinan-keyakinan. Karena pada hakekatnya
kemanusiaan ini diciptakan untuk membangun kebersamaan.
Sudah barang tentu dengan landasan kemampuan bertafahum. Kita harus
lanjutkan dengan kemampuan/peningkatan kemampuan berta’awun. Peningkatan
kemampuan takaful dengan seluruh komponen kemanusiaan.
Insya Allah, jika tuntutan-tuntutan pengembangan amal jama’i dalam ruang
lingkup mihwar tanzhimi, mihwar sya’bi, dan mihwar muassasi ini selalu
kita kembangkan, selalu kita tumbuhkan, insya Allah, mihwar daulah akan
segera diberikan Allah kepada kita bahkan didekatkan kepada kita.
Tanggung jawab ini hanya bisa dipikul oleh orang-orang yang disebutkan oleh Allah SWT:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya
Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Q.S. Fushilat: 33)
Mereka yang tahu batas-batas:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.” (Q.S. Fushilat: 34)
Dalam berkomunikasi selalu bisa mengungguli secara moral, secara idiil. Makanya kita merespon kemungkinan yang lebih baik lagi.
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,” (Q.S. Fushilat: 34)
Sehingga komunikasi kita selalu memperbaiki stigma-stigma negatif. Bisa
memperbaiki su’udzan, bisa memperbaiki prasangka-prasangka buruk kepada
kita dan juga dari kita kepada yang lain. Sehingga kalau sudah bisa
menjelaskan kerangka kehidupan seperti itu, kata Allah:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan
antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia.” (Q.S. Fushilat: 34)
Kita bisa akrab, bisa ka annahu waliyyun hamiim antar organisasi,
partai, umat, agama, kelompok, komunitas, bangsa, ideologi. Kita bisa
menemukan titik temu. Menemukan platform kerja bersama, sehingga ka
annahu waliyyun hamiim.
Sudah barang tentu, kata Allah SWT yang bisa melakukan itu adalah:
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. Fushilat: 35)
Yang bisa melakukan itu adalah orang yang sabar. Sabar menahan gejolak
pribadinya, gejolak semangatnya, gejolak emosinya dalam berkomunikasi.
Mungkin sumber dari gejolak itu bisa aqidah, ideologi, dan na’udzubillah
bisa juga hawa nafsu. Semuanya harus dikendalikan.
“…dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Q.S. Fushilat: 35)
Yang bisa melakukan pengendalian dalam berkomunikasi, bekerja sama,
bertawashul, berta’aruf, bertafahum, berta’awun, dan bertakaful ke
seluruh komponen kemanusiaan hanya mereka yang mendapatkan karunia besar
dari Allah SWT.
Dan ini diharapkan baik ikhwan dan akhwat sebagai kader-kader dakwah
tampil sebagai negarawan-negarawan. Tampil sebagai kepemimpinan dalam
kehidupan kemanusiaan. Inilah yang kita harapkan, yang tidak
berpandangan sempit, tapi berwawasan luas. Beridealita yang terasa
cita-cita kemanusiaan ada di benak pikiran mereka. Sehingga seluruh
kemanusiaan Insya Allah akan mendukung kepemimpinan mereka. Itulah yang
disebut ustadziyatul alam (guru/pemimpin dunia, red.).
Ustadz bisa diterima oleh lapisan masyarakat kemanusiaan. Sudah barang
tentu, kita tidak boleh berhati sempit, shudur mutadhayyiqah, dada yang
menyempit; qulub mutaghalliqah, hati yang menutup diri dalam
berkomunikasi dengan yang lain, ‘uqul mutaghaffilah, akal yang lalai
untuk mengembangkan kewajiban-kewajiban komunikasi, ta’aruf, ta’awun,
takaful dalam ruang lingkup yang lebih luas sampai ke level kemanusiaan.
Sekali lagi, amal jama’i bukan doktrin eksklusif hanya dalam kehidupan
kejama’ahan. Amal jama’i adalah doktrin inklusif dalam ruang lingkup
kemanusiaan lebih luas. Itulah yang diamanatkan dalam bentuk
ustadziyatul ‘alam. Sehingga yang kita bangun bukan hanya jama’ah,
masyarakat, atau daulah. Bahkan tidak terbatas kepada khilafah. Tapi
binaaul hadharah basyariyah, membangun peradaban kemanusiaan. Yang bisa
melakukan itu adalah illalladziina shabaruu dan illalladzina dzuu hadhin
‘azhiim. Insya Allah, ikhwat dan akhwat adalah orang-orang yang layak
disebut alladzina shabaru dan alladzina dzuu hadhin ‘azhiim. Insya
Allah…
Kita menyongsong masa depan yang memerlukan kedewasaan, kematangan, di
samping keteguhan prinsip-prinsip. Insya Allah, inilah basis perjuangan
beramal jama’i kita. Harus—sekali lagi—bisa dikembangkan, diperluas,
diperlebar, tanpa harus meninggalkan basis-basis ashalah. Tanpa harus
meninggalkan prinsip-prinsip. Bahkan basis-basis ashalah sudah
memberikan landasan untuk menuju posisi ustadziyatul ‘alam itu.
Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan ri’ayah dan inayah. Agar kita
disamping kukuh dalam ashalah, juga mampu mengembangkan khutuwat
tathwiriyah (langkah-langkah pengembangan) mencapai ruang lingkup yang
lebih luas. Bukan hanya ruang lingkup kejama’ahan. Tapi juga ruang
lingkup kehidupan berbangsa, bernegara, dan kemanusiaan. Insya Allah
dengan ri’ayah dan inayah Allah SWT kita bisa mencapai posisi seperti
itu, dan menghantarkan kita kepada ustadziyatul ‘alam. [intima/pkssumut]
0 Response to "Perluas Amal Jama’i, Menuju Ustadziyatul ‘Alam | Oleh: KH. Hilmi Aminuddin "
Posting Komentar