Perluas Amal Jama’i, Menuju Ustadziyatul ‘Alam | Oleh: KH. Hilmi Aminuddin


Alhamdulillah, dakwah kita—dengan pertolongan Allah, bi’aunillah wa ri’ayatihi—selalu diberi kesempatan dan peluang juga kekuatan untuk selalu mengembangkan diri; untuk selalu mampu merespon dan mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang kita hadapi dalam dakwah.

Modal utama agar kita selalu mampu merespon, mengantisipasi perkembangan-perkembangan, tuntutan-tuntutan dakwah adalah kebersamaan kita dalam amal jama’i. Jama’ah kita adalah sebuah wadah yang selain untuk menunaikan tugas-tugas dakwah, tugas-tugas keislaman, tugas-tugas amar ma’ruf nahi munkar, juga adalah wadah untuk memupuk, mengembangkan, mengokohkan kemampuan kita beramal jama’i. Sudah barang tentu, amal jama’i dalam implementasinya, dalam pelaksanaannya dari waktu ke waktu selalu menuntut pengembangan-pengembangan; selalu menuntut pertumbuhan-pertumbuhan.

Di mihwar tanzhimi, amal jama’i kita dalam gerakan dakwah terasa eksklusif, terasa ruang lingkup amal jama’i itu sangat terbatas. Dibatasi oleh batas-batas struktural. Dimana ruang lingkup tawasul (komunikasi) kita sebagai salah satu rukun amal jama’i adalah terbatas. Begitu juga ruang lingkup ta’aruf juga sangat terbatas. Ruang lingkup saling memahami, tafahum, juga sangat terbatas. Karena memang sekali lagi, ruang lingkup komunikasi kita terbatas. Ruang lingkup ta’aruf terbatas, otomatis ruang lingkup tafahum kita juga terbatas. Dan seterusnya ruang lingkup ta’awun kita juga terasa terbatas. Takaful kita, tadhammun kita juga terasa sangat terbatas. Meskipun terbatasnya tawasul, ta’aruf, ta’awun, tafahum, dan takaful kita, tapi dia adalah merupakan upaya membangun basis awal dari kekokohan amal jama’i kita. Modal dasar amal jama’i kita dibangun pada mihwar tanzhimi.

Alhamdulillah, modal dasar amal jama’i yang dibangun di saat mihwar tandzimi, dalam berbilang tahun mulai kita kembangkan,setelah memasuki mihwar ijtima’i atau mihwar sya’bi, ruang lingkup tawasul kita diperluas dalam ruang lingkup keummatan yang lebih luas melampaui batas-batas structural. Melampaui hudud tanzhimiyah kita.

Tawasul (komunikasi) kita kembangkan di dalam pergaulan bermasyarakat. Ta’aruf kita lebarkan sayapnya. Sehingga kita berta’aruf dengan seluruh lapisan dan komponen masyarakat. Begitu juga ta’awun, tafahum, dan takaful, kita kembangkan di tengah-tengah masyarakat luas. Tapi itu pun masih terbatas dalam ruang lingkup keummatan sesama umat Islam. Walaupun waktu itu, kita sudah biasa melampaui batas-batas kejama’ahan, kepartaian, dan institusi-institusi apa pun namanya. Apakah yayasan, LSM, ma’ahid dan madaris. Kita kembangkan amal jama’i kita lebih luas dibanding dari mihwar tanzhimi.

Sudah barang tentu, Alhamdulillah ternyata terbukti, bahwa mihwar tanzhimi adalah sebuah basis yang kokoh untuk memasuki mihwar ijtima’i. Sering saya katakan, mihwar tanzhimi adalah muqaddimah untuk menuju mihwar ijtima’i. ternyata ikhwan dan akhwat bisa mengembangkan tawasul, ta’aruf, tafahum, ta’awun, dan takaful ijtima’i-nya. Bahkan di sector ini kita sudah diakui di tengah-tengah masyarakat. Semua itu tidak terlepas, pertama-tama dari bantuan, inayah dan ri’ayah Allah SWT. Yang kedua, adalah karena di back up, didorong, di backing oleh amal jama’i yang kokoh, insya Allah.

Demikianlah, amal jama’i selalu menuntut perkembangan-perkembangan. Selalu menuntut khutuwat tathwiriyah selamanya dan seharusnya harus diimbangi khuthuwat ta’shiliyah, upaya mempertahankan orisinalitas, upaya mempertahankan keaslian. Baik dari segi harakah Islamiyah atau juga dari segi harakah da’awiyah. Tapi sekali lagi, menjaga keaslian harakah Islamiyah dan harakah da’wiyah tidak boleh menghalangi perkembangan-perkembangan khuthuwat tathwiriyah dalam pergaulan kita di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan di tengah-tengah kehidupan kemanusiaan.

Saya ingatkan kembali bahwa setiap mihwar adalah merupakan muqaddimah dari mihwar berikutnya. Atas dasar itu bahwa mihwar ijtima’i yang telah mengantarkan ikhwan dan akhwat terhadap sebuah pengakuan akan prestasi, keahlian, kepakaran, dan kelayakannya bergaul di tengah-tengah masyarakat. Memberikan kontribusi positif dalam kehidupan bermasyarakat dalam ruang lingkup keumatan, berbangsa dan bernegara.

Insya Allah ini merupakan modal utama kita untuk semakin mendewasakan kita dalam mihwar muassasi, dimana tuntutan amal jama’i dalam mihwar muassasi sudah barang tentu jauh lebih berkembang, lebih luas, lebih lebar sayapnya dibanding amal jama’i dalam ruang lingkup mihwar tanzhimi dan mihwar ijtima’i. Karena mihwar muassasi merupakan muqaddimah dari mihwar daulah. Dimana amal jama’i kita bukan saja mampu kita kembangkan di ruang lingkup kejama’ahan dan keumatan, tetapi justru harus semakin mampu mengembangkan amal jama’i dalam ruang lingkup pergaulan kemanusiaan, pergaulan internasional. Dimana ikhwan dan akhwat sudah mulai dikenal di dunia internasional. Bahkan mendapat undangan-undangan di momentum-momentum internasional. Ini adalah merupakan bawadir atau langkah-langkah awal menuju mihwar daulah yang harus secara terus menerus kita kembangkan dalam mihwar muassasi ini.

Sudah barang tentu konsekuensi amal jama’i kita di mihwar muassasi ini, bukan saja kita berkewajiban melaksanakan keniscayaan memperkokoh hasil-hasil amal jama’i kita di dalam ruang lingkup mihwar tanzhimi, dan memperkokoh, memperkuat hasil-hasil amal jama’i kita dalam mihwar ijtima’i. Tapi di mihwar muassasi ini kita harus semakin mampu mengembangkan, menumbuh kembangkan, melebarkan ruang lingkup amal jama’i kita dengan segenap rukunnya. Kemampuan bertawasul kita harus melampaui batas-batas kejama’ahan, keumatan, dan organisasi kepartaian. Bahkan melampaui batas-batas institusi-institusi yang dibatasi oleh ideologi, keagamaan, dan kebangsaan. Kita harus mampu mengembangkan tawasul dengan seluruh komponen kemanusiaan.

Oleh karena itu tawasul bukan hanya sekedar tawasul. Berkomunikasi bukan sekedar berkomunikasi. Tapi harus ditindaklanjuti dengan kemampuan kita mengembangkan ta’aruf (saling mengenal) antara karakter masing-masing lingkungan. Apakah kepartaian, kejama’ahan, etnik, kebangsaan, ideology, dan keagamaan. Kita harus berta’aruf dan selanjutnya harus bisa bertafahum (memahami). Memahami siapa mereka dan siapa kita. Memahami madza nuriidu minhum, apa yang kita inginkan dari mereka. Memahami madza yuriiduuna minna, apa yang mereka inginkan dari kita. Sehingga melalui basis pemahaman yang mendalam itu, kita bisa melakukan al-akhdzu wal ‘atha (take and give) memberi dan menerima dalam rangka merakit kebersamaan dalam ruang lingkup yang lebih luas. Bukan hanya dalam kejama’ahan, keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Bahkan merakit amal jama’i dalam ruang lingkup kemanusiaan antar bangsa, umat, agama, partai, ideology, dan keyakinan-keyakinan. Karena pada hakekatnya kemanusiaan ini diciptakan untuk membangun kebersamaan.

Sudah barang tentu dengan landasan kemampuan bertafahum. Kita harus lanjutkan dengan kemampuan/peningkatan kemampuan berta’awun. Peningkatan kemampuan takaful dengan seluruh komponen kemanusiaan.

Insya Allah, jika tuntutan-tuntutan pengembangan amal jama’i dalam ruang lingkup mihwar tanzhimi, mihwar sya’bi, dan mihwar muassasi ini selalu kita kembangkan, selalu kita tumbuhkan, insya Allah, mihwar daulah akan segera diberikan Allah kepada kita bahkan didekatkan kepada kita.

Tanggung jawab ini hanya bisa dipikul oleh orang-orang yang disebutkan oleh Allah SWT:

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Q.S. Fushilat: 33)

Mereka yang tahu batas-batas:

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.” (Q.S. Fushilat: 34)

Dalam berkomunikasi selalu bisa mengungguli secara moral, secara idiil. Makanya kita merespon kemungkinan yang lebih baik lagi.

“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,” (Q.S. Fushilat: 34)

Sehingga komunikasi kita selalu memperbaiki stigma-stigma negatif. Bisa memperbaiki su’udzan, bisa memperbaiki prasangka-prasangka buruk kepada kita dan juga dari kita kepada yang lain. Sehingga kalau sudah bisa menjelaskan kerangka kehidupan seperti itu, kata Allah:

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.S. Fushilat: 34)

Kita bisa akrab, bisa ka annahu waliyyun hamiim antar organisasi, partai, umat, agama, kelompok, komunitas, bangsa, ideologi. Kita bisa menemukan titik temu. Menemukan platform kerja bersama, sehingga ka annahu waliyyun hamiim.

Sudah barang tentu, kata Allah SWT yang bisa melakukan itu adalah:

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. Fushilat: 35)

Yang bisa melakukan itu adalah orang yang sabar. Sabar menahan gejolak pribadinya, gejolak semangatnya, gejolak emosinya dalam berkomunikasi. Mungkin sumber dari gejolak itu bisa aqidah, ideologi, dan na’udzubillah bisa juga hawa nafsu. Semuanya harus dikendalikan.

“…dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Q.S. Fushilat: 35)

Yang bisa melakukan pengendalian dalam berkomunikasi, bekerja sama, bertawashul, berta’aruf, bertafahum, berta’awun, dan bertakaful ke seluruh komponen kemanusiaan hanya mereka yang mendapatkan karunia besar dari Allah SWT.

Dan ini diharapkan baik ikhwan dan akhwat sebagai kader-kader dakwah tampil sebagai negarawan-negarawan. Tampil sebagai kepemimpinan dalam kehidupan kemanusiaan. Inilah yang kita harapkan, yang tidak berpandangan sempit, tapi berwawasan luas. Beridealita yang terasa cita-cita kemanusiaan ada di benak pikiran mereka. Sehingga seluruh kemanusiaan Insya Allah akan mendukung kepemimpinan mereka. Itulah yang disebut ustadziyatul alam (guru/pemimpin dunia, red.).

Ustadz bisa diterima oleh lapisan masyarakat kemanusiaan. Sudah barang tentu, kita tidak boleh berhati sempit, shudur mutadhayyiqah, dada yang menyempit; qulub mutaghalliqah, hati yang menutup diri dalam berkomunikasi dengan yang lain, ‘uqul mutaghaffilah, akal yang lalai untuk mengembangkan kewajiban-kewajiban komunikasi, ta’aruf, ta’awun, takaful dalam ruang lingkup yang lebih luas sampai ke level kemanusiaan.

Sekali lagi, amal jama’i bukan doktrin eksklusif hanya dalam kehidupan kejama’ahan. Amal jama’i adalah doktrin inklusif dalam ruang lingkup kemanusiaan lebih luas. Itulah yang diamanatkan dalam bentuk ustadziyatul ‘alam. Sehingga yang kita bangun bukan hanya jama’ah, masyarakat, atau daulah. Bahkan tidak terbatas kepada khilafah. Tapi binaaul hadharah basyariyah, membangun peradaban kemanusiaan. Yang bisa melakukan itu adalah illalladziina shabaruu dan illalladzina dzuu hadhin ‘azhiim. Insya Allah, ikhwat dan akhwat adalah orang-orang yang layak disebut alladzina shabaru dan alladzina dzuu hadhin ‘azhiim. Insya Allah…

Kita menyongsong masa depan yang memerlukan kedewasaan, kematangan, di samping keteguhan prinsip-prinsip. Insya Allah, inilah basis perjuangan beramal jama’i kita. Harus—sekali lagi—bisa dikembangkan, diperluas, diperlebar, tanpa harus meninggalkan basis-basis ashalah. Tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip. Bahkan basis-basis ashalah sudah memberikan landasan untuk menuju posisi ustadziyatul ‘alam itu.

Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan ri’ayah dan inayah. Agar kita disamping kukuh dalam ashalah, juga mampu mengembangkan khutuwat tathwiriyah (langkah-langkah pengembangan) mencapai ruang lingkup yang lebih luas. Bukan hanya ruang lingkup kejama’ahan. Tapi juga ruang lingkup kehidupan berbangsa, bernegara, dan kemanusiaan. Insya Allah dengan ri’ayah dan inayah Allah SWT kita bisa mencapai posisi seperti itu, dan menghantarkan kita kepada ustadziyatul ‘alam. [intima/pkssumut]

0 Response to "Perluas Amal Jama’i, Menuju Ustadziyatul ‘Alam | Oleh: KH. Hilmi Aminuddin "

Posting Komentar